Melihat Sekolah di Pedalaman Sumba: Gedung Reyot Mirip Kandang Ayam dan Siswa Kurang Gizi
Nyanyian dan teriakan semakin lantang saat komunitas 1000 Guru mengajak
Meja dan kursi pun juga tak seperti sekolahan pada umumnya. Kayu seadanya yang dibuat meja disangga di beberapa bagian. Warnanya kusam.

Beberapa bahkan menggunakan bangku panjang dari kayu-bambu untuk duduk beramai-ramai.
Semakin siang, suasana kelas makin gerah lantaran atap kelas yang pendek dengan hanya ditutup dengam seng. Terlebih di musim panas dan kering seperti bulan September, cuaca sangat terik.
Terpencil
Untuk menjangkau SDN Paralel Mata Wee Tame, kalau anda naik pesawat dari Jakarta atau kota besar seperti Surabaya, Bali, turun saja di Bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya.
Dari bandara, dengan kendaraan roda empat atau roda dua tinggal cari arah ke Jalan Trans Sumba.
Butuh 1,5 jam untuk melaju di jalanan nan mulus nan lebar untuk kawasan Sumba. Setelah sampai di kawasan Wewewa Timur, tinggal belok kiri.

Jalanan masih beraspal cukup bagus meski saat berpapasan mobil harus menepi. Di jalanan mulai terlihat bukit-bukit tandus nan kering yang didominasi bebatuan dan kapur.
Baca: Inilah 11 Gempa Terbesar dan Paling Mematikan dalam 100 Tahun Terakhir, Indonesia Salah Satunya

Sekitar 5 km dari jalanan Wewewa Timur, mulai lah jalanan rusak menghiasi. Semakin ke dalam, suasana kemiskinan makin terlihat.
Jalanan berkelok dan makin menyempit dengan melintas bukit dengan tanaman mengering.
Total,butuh hampir 2 jam untuk tiba di sekolahan yang tak layak disebut sekolahan tersebut.

Sekolah Paralel
Kepala Sekolah SDN Mata Wee Tame, Simon Bebuma mengatakan, sekolah ini didiririkan di atas lahan yang dihibahkan warga seluas sekitar 30 x 50 meter.
"Rata-rata jarak tempuh anak-anak dari rumah ke sekolah induk yakni SDN Mata Wee Tame sekitar 6 km. Jalanan berbukit dan sangat jauh untuk anak-anak. Oleh karena itu, warga swadaya membangun sekolahan ini. Yah hasilnya seperti ini, " ujar Simon Bebuma.
