Lahirnya Kain Tenun Warisan Leluhur Dari Tangan Perempuan Dayak Iban
Bagi perempuan Dayak Iban, menenun kain bukan hanya keahlian teknis, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang menyatu dengan alam.
Parapuan.co - Di pelosok Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, di mana sungai-sungai besar mengalir membelah hutan hujan tropis, hidup perempuan-perempuan Dayak Iban yang tangguh. Mereka tidak hanya menjadi ibu dan penjaga keluarga, tetapi juga penenun yang menenun bukan sekadar kain. Mereka menenun sejarah, identitas, dan harapan.
Sejak muda, perempuan Dayak Iban sudah akrab dengan suara kayu pemintal dan aroma dedaunan yang digunakan sebagai pewarna alami. Tenun bagi mereka bukan hanya keahlian teknis, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang menyatu dengan alam. Tiap motif yang tercipta adalah kisah tentang leluhur, penghormatan kepada hutan, serta simbol-simbol kepercayaan yang diwariskan turun-temurun.
Namun di balik keindahan setiap lembar kain, tersimpan cerita panjang tentang keterbatasan. Akses komunikasi yang minim, sulitnya transportasi, keterbatasan pendidikan, dan sempitnya peluang pemasaran menjadi tantangan sehari-hari. Tidak sedikit perempuan yang akhirnya terpaksa meninggalkan kampung halaman demi menjadi tenaga kerja di luar negeri. Ketika mereka pergi, tidak hanya keluarga yang kehilangan sosok penting, tetapi juga budaya menenun perlahan ikut tergerus.
Meskipun demikian, semangat perempuan Dayak Iban tak pernah padam. Dalam kesunyian dusun, mereka terus merawat benang demi benang, menolak tunduk pada modernisasi yang mengancam untuk melupakan. Kain tenun bukan hanya soal ekonomi bagi mereka, tetapi juga kebanggaan, jati diri, dan cara mereka menjaga warisan leluhur agar tidak lenyap ditelan zaman.
Setiap motif lahir dari alam: dari mulai dari dedaunan dan kulit pepohonan. Hasilnya bukan sekadar kain, melainkan sebuah kanvas hidup yang memuat filosofi mendalam. Bagi mereka, menenun adalah doa diam-diam, perlawanan sunyi, dan harapan yang diikat dalam setiap simpul benang.
Anak-anak pun perlahan mulai diajak mengenal benang, motif, dan cerita di baliknya. Para ibu berharap agar generasi penerus tidak hanya tahu cara menenun, tetapi juga memahami makna yang menghidupi tradisi. Mereka ingin agar di masa depan, tenun Iban tidak hanya menjadi barang koleksi di kota, tetapi tetap menjadi identitas hidup bagi komunitas mereka sendiri.
Kini, di tengah usaha keras para perempuan ini mempertahankan budaya, mereka mendapatkan dukungan nyata melalui sebuah program pemberdayaan yang membantu membuka akses dan memperluas kesempatan.
Melalui program Aram Bekelala Tenun Iban, yang diinisiasi oleh Yayasan Kawan Lama, para penenun terbantu untuk meningkatkan keterampilan, mengenal teknik pewarnaan alami dengan lebih dalam, serta memahami cara memperkenalkan karya mereka ke pasar yang lebih luas.
Program ini dijalankan dengan kolaborasi berbagai pihak: Cita Tenun Indonesia, desainer Wilsen Willim, Lingkar Temu Kabupaten Lestari, National Geographic Indonesia, dan Majalah Bobo, yang juga mendukung pendidikan budaya bagi anak-anak penenun.
Dengan pendampingan ini, para perempuan Dayak Iban semakin percaya bahwa warisan budaya yang mereka jaga akan terus hidup, berkembang, dan menjadi kebanggaan bersama, tak hanya untuk mereka tetapi juga untuk Indonesia dan dunia.
Artikel ini ditulis oleh Ricky Martin/National Geographic Indonesia.
Sumber: Parapuan
Prakiraan Cuaca Kota Pontianak Hari Ini, 6 September 2025: Waspada Hujan Petir Malam Hari |
![]() |
---|
PKB Dorong Pembentukan Tim Investigasi Independen Usut Demo Ricuh 25-31 Agustus |
![]() |
---|
Korupsi Proyek Jalan Mempawah, KPK Panggil Eks Ketua Banggar DPR Ahmadi Noor Supit |
![]() |
---|
Demo di Kalimantan Hari Ini: Gubernur Kalbar dan Ketua DPRD Kalsel Kompak Temui Massa |
![]() |
---|
KPK Dalami Dugaan Korupsi Proyek PUPR Mempawah, Periksa Pejabat Era Ria Norsan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.