Senin, 6 Oktober 2025

Perempuan Kepala Keluarga Masih Alami Diskriminasi, PEKKA Dorong Pengakuan dan Pemberdayaan

Langkah utama dilakukan PEKKA adalah melakukan pendampingan dan penguatan diri kepada perempuan kepala keluarga agar mereka mendapatkan percaya diri.

Editor: willy Widianto
Tribunnews/Gabriela Irvine Dharma
NASIB KAUM PEREMPUAN - Co-Direktur Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Romlawati (kedua dari kiri) menyoroti bagaimana negara dan budaya masih belum sepenuhnya mengakui keberadaan perempuan sebagai kepala keluarga. Hal itu dikatakan Romlawati saat acara Dialog Dengan Media: Memperkuat Kebijakan Inklusif di Indonesia di Jakarta, Selasa (18/3/2025). 

Laporan Gabriela Irvine Dharma

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perempuan kepala keluarga masih sering mengalami diskriminasi dan ketidakadilan sosial.  

Masyarakat kerap memberikan stigma negatif terhadap perempuan yang menjadi kepala keluarga, dengan mengidentikkannya sebagai janda dalam konotasi yang kurang baik. 

Baca juga: Program INKLUSI Dorong Pemerintah Perjuangkan Nasib Perempuan, Disabilitas Hingga Kaum Marjinal

Co-Direktur Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Romlawati menyoroti bagaimana negara dan budaya masih belum sepenuhnya mengakui keberadaan perempuan sebagai kepala keluarga (KK). 

"Di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, kepala keluarga itu adalah suami. Artinya, tidak ada pengakuan terhadap perempuan sebagai kepala keluarga," ujar Romlawati dalam acara Dialog Dengan Media: Memperkuat Kebijakan Inklusif di Indonesia di Jakarta, Selasa (18/3/2025). 

Dampaknya, perempuan kepala keluarga sering tidak terhitung dalam program-program pemerintah yang menyasar keluarga. Padahal, peran mereka dalam menopang kehidupan keluarga sangat besar. 

Jumlah perempuan kepala keluarga di Indonesia, kian hari semakin meningkat, namun nyatanya mereka tetap termarjinalkan. Ketika PEKKA mulai mengorganisir komunitas perempuan kepala keluarga pada tahun 2001, jumlah mereka di Indonesia tercatat sebesar 13 persen dari total populasi. 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, angka ini meningkat menjadi 15%, atau naik 2?lam kurun waktu delapan tahun. 

"Dalam pendataan kami, kalau di suatu daerah ada kelompok yang paling miskin, biasanya itu adalah perempuan kepala keluarga," kata Romlawati. 

Baca juga: Anies-Muhaimin Dorong Kesetaraan Perempuan Dapatkan Pendidikan Setinggi-tingginya

Karena status mereka yang tidak diakui dan sering mengalami kemiskinan, perempuan kepala keluarga menjadi semakin termarjinalkan. Mereka tidak hanya kesulitan mendapatkan akses bantuan, tetapi juga jarang diundang atau dilibatkan dalam proses pembangunan di tingkat desa hingga nasional. 

Melihat kondisi ini, PEKKA telah menjalankan berbagai program untuk menguatkan perempuan kepala keluarga, agar mereka lebih percaya diri dan mampu memperjuangkan hak-haknya.  

Langkah utama yang dilakukan PEKKA adalah melakukan pendampingan dan penguatan diri kepada perempuan kepala keluarga agar mereka mendapatkan rasa percaya diri untuk menjalankan usaha, mengakses hak-hak dasar, dan berani bersuara. 

Tidak hanya itu, PEKKA juga melakukan pengorganisasian kelompok. Setelah memiliki kepercayaan diri, mereka diorganisir dalam unit-unit kecil di tingkat dusun dan kelompok komunitas. 

Hingga saat ini, PEKKA telah memiliki lebih dari 2.000 kelompok yang menjangkau lebih dari 90.000 perempuan kepala keluarga di Indonesia. 

Lalu, mengadakan advokasi berbasis pengalaman nyata, di mana seluruh pengalaman para perempuan kepala keluarga dikumpulkan dalam bentuk cerita pendek. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved