BMKG Ingatkan Ancaman Kerawanan Pangan Serius Pada 2050
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkap berdasarkan data global maupun nasional menunjukkan tren peningkatan suhu yang signifikan.
Penulis:
Fahdi Fahlevi
Editor:
Adi Suhendi
BMKG Ingatkan Ancaman Kerawanan Pangan Serius 25 Tahun lagi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkap berdasarkan data global maupun nasional menunjukkan tren peningkatan suhu yang signifikan sejak 1975.
Menurut dia, tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah, dengan kenaikan suhu global mencapai 1,55°C di atas periode pra-industri.
"Dampaknya, frekuensi dan intensitas banjir maupun kekeringan semakin ekstrem dan menimbulkan krisis air di banyak wilayah," kata Dwikorita melalui keterangan tertulis, Sabtu (27/9/2025).
Dwikorita menekankan jika laju pemanasan global gagal ditekan, Indonesia berisiko menghadapi kerawanan pangan serius pada 25 tahun mendatang.
Food and Agriculture Organization (FAO), kata dia, memprediksi dunia akan mengalami ancaman krisis pangan pada tahun 2050 akibat krisis air sebagai dampak perubahan iklim.
Baca juga: Bapanas: 68 Kabupaten/Kota Terindikasi Daerah Rawan Pangan
“Kita tidak bisa hanya fokus pada mitigasi bencana, tapi juga memastikan infrastruktur ke depan mampu menjawab ancaman krisis pangan dan ketersediaan air. Perencanaan bendungan, irigasi, hingga tata kelola sumber daya air harus berbasis data iklim terbaru,” katanya.
Sementara itu, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, mengatakan Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dari alam.
Baca juga: Indonesia Disebut Rentan Kerawanan Pangan, Ekonom Ingatkan Bersiap Antisipasi Lonjakan Harga
Bibit dan siklon tropis yang muncul bukan sekadar fenomena meteorologis biasa, melainkan membawa dampak nyata di berbagai wilayah.
Data BMKG menunjukkan setiap tahun hujan harian maksimum terus mengalami peningkatan, dan di kawasan seperti Puncak serta Bali, curah hujan ekstrem telah memicu banjir bandang, longsor, hingga kerusakan infrastruktur.
“Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan alarm nyata bahwa kita harus segera bertindak,” ujarnya.
Guswanto menambahkan, diperlukan sinergi antar Kementerian dan Lembaga untuk memperkuat ketahanan infrastruktur dan lingkungan.
Upaya itu dapat dilakukan dengan merancang infrastruktur berbasis data hujan ekstrem, merehabilitasi lahan kritis serta normalisasi sungai, dan membangun infrastruktur hijau seperti taman resapan, sumur infiltrasi, hingga sistem peringatan dini berbasis cuaca.
“Cuaca ekstrem bukan hanya ancaman masa depan, tetapi kenyataan hari ini. Karena itu, mari kita ubah cara kita membangun dan merawat lingkungan, sebab alam tidak menunggu,” pungkasnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.