Senin, 29 September 2025

Satria Hutan Indonesia 2025: Cerita Perjalanan 12 Hari di Gunung Patah

Perjalanan Satria Hutan Indonesia mendaki Gunung Patah di perbatasan Provinsi Bengkulu dan Sumatera Selatan.

Istimewa
Mapala Universitas Indonesia lewat program Satria Hutan Indonesia 2025 mendaki Gunung Patah. 

TRIBUNNEWS.COM - Gunung Patah, Gunung yang berdiri megah di perbatasan Provinsi Bengkulu dan Sumatera Selatan dengan ketinggian 2.853 mdpl. Tidak banyak orang yang mengenalnya, sebab jalurnya yang belum dibuka untuk umum dan informasinya yang masih minim.

Namun karena itu, Gunung Patah menyimpan daya tarik tersendiri: Hutan hujan tropis yang masih lebat, flora dan fauna yang masih jarang dijamah orang-orang, serta cerita lokal yang turun temurun diwariskan masyarakat adat setempat.

Bagi Mapala UI, keheningan dan misteri tersebut bukanlah alasan untuk berbalik arah, melainkan menjadi sebuah tantangan untuk belajar dan memahami. Lewat program Satria Hutan Indonesia (SHI) 2025, Gunung Patah dipilih sebagai medan belajar sekaligus ruang perjumpaan dengan alam dan budaya.

Perjalanan ini berlangsung tepatnya 12 hari, dengan rute lintas jalur, berangkat dari Desa Manau IX, Kabupaten Kaur, hingga turun melalui jalur Kance Diwe di Kota Pagar Alam.

Sepanjang perjalanan, anggota tim pendakian tersebut banyak menghadapi ujian fisik berupa pacet yang menghisap darah, sarang lebah, jalur yang licin dan masih harus dibuka, serta hujan di setiap harinya.

Namun, lebih dari sekadar perjalanan menuju puncak, perjalanan ini diwarnai momen-momen sakral—dimulai dari ritual adat sebelum keberangkatan, penemuan tulang hewan yang tersusun di tengah jalur, hingga pengibaran bendera Merah Putih di puncaknya.

Dengan membawa tema “Kenali Hutan, Jaga Kehidupan”, setiap langkah tim Satria Hutan Indonesia menjadi cara mengikat diri dengan alam, mengingatkan bahwa mendaki bukan hanya untuk mencapai puncaknya, melainkan juga menjaga kehidupan yang ada di dalamnya.

Menghormati yang Terdahulu

Setiap perjalanan besar selalu dimulai dengan penghormatan, dan bagi masyarakat Desa Manau IX, menghormati leluhur adalah bagian tak terpisahkan sebelum mendaki Gunung Patah.

Sehari sebelum tim Satria Hutan Indonesia 2025 menginjakkan kaki di jalur pendakian (4/8), mereka diajak untuk mengikuti sebuah prosesi adat, yaitu berziarah ke makam puyang, leluhur yang diyakini adalah penyebar agama Islam disana. Suasana saat upacara adat itu hening, dilantunkan doa-doa dalam bahasa daerah, tercium juga bau dari kemenyan yang dibakar. 

“Biasanya kalau ada yang mau melakukan pendakian dari Manau IX, kami selalu minta restu dari puyang. Supaya perjalanan selamat sampai pulang,” Ujar Pak Haji, seorang tetua adat setempat.

Bagi masyarakat desa Manau IX, ritual ini adalah bentuk etika, bagi Mapala UI, ia menjadi pengingat bahwa hutan tidak hanya menyimpan flora dan faunanya, tetapi juga menyimpan kisah dan keyakinan. Dengan restu yang diberikan, langkah-langkah terasa lebih ringan, seakan ada jembatan tak kasat mata yang menghubungkan para anggota tim dengan mereka yang telah lebih dahulu menjaga hutan.

Menembus Jalur Sunyi Manau IX

Langkah demi langkah dimulai dari Desa Manau IX (5/8), membawa tim ke dalam hutan tropis yang masih rapat dan penuh kejutan. Jalur yang panjangnya sekitar 40 sampai 50 kilometer ini memaksa anggota tim untuk menghadapi rintangan sejak awal.

Tanah basah membuat pijakan kaki jadi mudah terpeleset, akar-akar dan pohon tumbang melintang menutupi jalur. Hingga sekitar ketinggian 1.500 mdpl keatas, perjalanan diwarnai dengan serangan pacet yang tanpa henti menempel di tubuh, sehingga meninggalkan bercak darah di kulit.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan