Andi Widjajanto Duga Adanya Pola Baru Kerusuhan di RI-Nepal Dioptimalkan oleh AI
Andi tak menutup kemungkinan kerusuhan yang terjadi belakangan ini efek dari penyebaran informasi yang begitu cepat.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penasihat Senior LAB 45, Andi Widjajanto, angkat bicara soal kerusahan yang terjadi di Nepal dan beberapa negara lainnya serta kaitannya dengan peristiwa kerusahan yang terjadi di Indonesia pada 25-31 Agustus 2025 lalu.
Andi menyebut efek dominonya terjadi dan marak di media sosial.
Ia tak menutup kemungkinan kerusuhan yang terjadi belakangan ini efek dari penyebaran informasi yang begitu cepat.
Apalagi pola kerusahan yang terjadi di Nepal maupun Indonesia menunjukkan era baru bahwa gerakan sosial politik bisa dioptimalkan oleh kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).
Hal itu disampaikan Andi Widjajanto saat sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Studio Tribunnews.com kawasan Palmerah, Jakarta, Senin (16/9/2025).
“Caranya juga sangat-sangat berbeda, tapi kemudian bahwa narasi dominonya itu muncul yang menunjukkan kita sekarang berada di era baru dalam gerakan sosial politik, yang betul-betul bisa dioptimalkan oleh AI,” kata Andi.
Eks Sekretaris Kabinet di era Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) ini juga mengatakan, melalui AI juga bisa terbaca pola gerakan sosial politik ini bermula.
Termasuk, bagaimana gerakan sosial politik ini seperti marketing yang menyajikan konten-konten tertentu, yang telah terbukti menarik exposure engagement besar masyarakat.
“Kita menduga apakah ada rencana sistematis, struktur global tentang itu. Sementara saya masih melihat ini visualisasi marketing dari media sosial untuk mengangkat isu-isu tertentu,” terangnya.
Sebagai mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Andi juga angkat bicara soal unjuk rasa disertai penjarahan sejumlah rumah anggota DPR RI dan Sri Mulyani yang saat itu menjabat Menteri Keuangan.
Dia menjelaskan dalam regulasi, anarkis yang terjadi telah pada titik kritis atau tipping point.
Apalagi, titik kritis ini langsung berekskalasi karena emosi massa sudah terbakar setelah peristiwa almarhum Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas akibat terlindas mobil rantis Brimob.
“Di masa Pak Prabowo anarkisnya sudah terjadi ketika April-Mai 2025 pada saat ada unjuk rasa yang menolak revisi undang-undang TNI. Tapi tipping pointnya tidak ada sehingga anarkisnya tidak berubah bereskalasi menjadi amok. Kemarin 25-31 Agustus tipping point ada amoknya terjadi,” jelasnya.
Berikut petikan wawancara dengan Penasihat Senior LAB 45 Andi Widjajanto bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra;
Tanya: Mas Andi, kebetulan ini setelah kerusuhan di Jakarta dan di beberapa kota di Indonesia ini muncul amuk masa di Nepal. Kemudian muncul amuk masa di Perancis, Australia, London. Mas, bisa diobrolin Mas, ini apa sih sebenarnya fenomena kayak domino ini?
Jawab: Ya, yang menarik adalah dominonya terjadi betul-betul marak di media sosial ini.
Jadi kita kemudian harus memperhatikan coding-coding di belakang, hashtag yang dimainkan, tag-lag yang dimainkan, sampai kepada visual yang dilempar di media sosial, mana yang memang generated by group gitu ya, atau juga bahkan sudah generated by machine ya.
Kalau data-data itu kemudian semuanya ditarik, tidak susah juga untuk melakukan data crawling-nya karena AI sekarang bisa kita minta untuk meng-crawling mesin, ya AI sendiri ya akan kelihatan tema-tema seragam yang dimainkan. Saya memperhatikan ini sebetulnya sudah kejadian pada saat kelompok kanan, konservatif.
Jadi masa kampanye Trump, terutamanya Trump 2, lalu lagi-lagi dominonya terjadi di Eropa, di Belanda, di Jerman, di Perancis, di Austria, di Brazil, memenangkan pemilu seperti di Belanda, yang gagal seperti di Perancis, tapi kemudian bisa kelihatan bagaimana machine learning yang kemudian berubah cepat menjadi AI itu sangat-sangat membantu untuk menebar visual-visual, narasi-narasi yang akhirnya membuat seolah-olah ada domino yang mirip-mirip di antar negara.
Seperti saya pernah membuat status di WA saya, statusnya sesuatu yang dimulai di Pati, akhirnya berakhir di Kathmandu, Nepal. Jadi tuntasnya di Kathmandu, Nepal ya tentunya kalau secara pergerakan nggak ada nih relasi gerakan mahasiswa atau buruh di Indonesia dengan gerakan gen Z di Nepal.
Caranya juga sangat-sangat berbeda, tapi kemudian bahwa narasi dominonya itu muncul yang menunjukkan kita sekarang berada di era baru dalam gerakan sosial politik yang betul-betul bisa dioptimalkan oleh AI.
Tanya: Mas Andi, banyak khawatir ini saling mempengaruhi. Nepal tuh sukses loh, tapi kok kita nggak sukses? Banyak sekali narasi di sosial media bilang begitu. Yuk kita ulangi lagi supaya kayak di Nepal yuk. Ini bukan bermaksud memprovokasi, tapi apakah sebenarnya fenomena ini memang original? Apakah ini sebenarnya sesuatu yang muncul begitu saja? Atau memang ada sesuatu dibalik narasi-narasi yang membandingkan kemudian tingkat keberhasilannya di Indonesia sama di Nepal ini, Mas Andi?
Jawab: Kalau saya membayangkan, ini AI yang non-personal, AI yang tidak bias. Kepentingan dia hanya sekedar membuat satu konten itu memenuhi ruang digital dengan viralitas yang tinggi. Itu saja misinya dia.
Jadi misalnya ketika film Marvel, Avengers 2 terakhir berturut-turut itu sangat sukses, lalu kita bisa melihat bagaimana cuplikan-cuplikannya muncul di media sosial kita.
Lalu ada teknik misalnya reaction, ada teknik kemudian membandingkan kontras antara Marvel dengan DC dan seterusnya. Sama dengan bola.
Bola ketika kemarin MU kalah 0-3 lawan Manchester City, lalu pada saat yang hampir bersamaan, kiper MU yang dijual ke Club Turkey malah menjadi pemain terbaik. Viralitasnya menjadi sangat tinggi. Ini AI yang non-personal, hanya sekedar melihat saja mana konten-konten yang tinggi memang menarik perhatian di segmentasi-segmentasi berita tertentu lalu itulah yang kemudian diulang-ulang untuk divisualkan.
Tanpa kemudian melihat apakah ada aktor intelektual yang menggerakkan ini. Kalau saya sekarang lihatnya masih kayak social political marketing dimana ada konten-konten tertentu yang terbukti sudah menarik exposure engagement besar kemudian terus-menerus dimainkan sehingga kita menduga apakah ada rencana sistematis, struktur global tentang itu.
Tapi untuk sementara saya masih melihat ini visualisasi marketing dari media sosial untuk mengangkat isu-isu tertentu.
Tanya: Mas Andi, kemarin itu setelah adanya demonstrasi, biasa sebenarnya aksi demo itu normal saja di alam demokrasi, tapi kemudian diikuti dengan kerusuhan yang barangkali sejumlah orang tidak pernah mengira. Bahkan ada orang, oh ini berarti intelijen kita atau apa ya, deteksi dini kita ini nggak bagus nih. Apalagi tadi di depan sudah saya sebutkan ada 4 rumah politis yang dijarah termasuk yang paling dramatik adalah rumah dari Menteri Keuangan Sri Mulyani yang masih menjabat, disebut sebagai bendahara negara. Apakah sebenarnya anggapan bahwa deteksi dunia kita ini nggak bagus itu beralasan nggak sih Mas?
Jawab: Untuk kali ini sangat beralasan ya. Saya membaginya dalam 4 tahapan. Demo terjadi, lalu demonya menuju anarkis, karena prosedural, biasanya prosedural itu lewat jam 5 sore, atau demonya bergerak ke lokasi-lokasi yang tidak diizinkan.
Dalam regulasi, anarkisnya kemudian ada tipping point. Tipping point ini yang membuat langsung berekskalasi karena emosi masa sudah terbakar marah. Tipping point dalam 25 sampai 31 Agustus itu adalah terbunuhnya atau gugurnya Almarhum Affan yang tidak terduga memang tipping point tragedi Almarhum Affan itu tidak menjelma menjadi kerusuhan ala 97-98 atau kerusuhan pada saat tragedi Semanggi.
Tidak menjelma menjadi itu. Tipping pointnya merubah menjadi amok yang menyasar rumah-rumah pribadi elit. Karena itu kemudian tipping point yang menjadi amok itu menggambarkan ada pertarungan elit yang sangat keras.
Yang bukan lagi membenturkan secara horizontal antara masa dengan pemerintah atau kelompok politik A lawan kelompok politik B. Tapi benar-benar menunjukkan ada friksi elit yang kemudian disimbolisasi menjadi amok masa berupa penjarahan. Ini yang baru untuk saya dalam krisis politik di Indonesia.
Di masa Pak Prabowo anarkisnya sudah terjadi ketika April-May 2025 pada saat ada unjuk rasa yang menolak revisi undang-undang TNI tapi tipping pointnya tidak ada tipping pointnya tidak ada sehingga anarkisnya tidak berubah bereskalasi menjadi amok. Kemarin 25-31 Agustus tipping point ada amoknya terjadi. (Tribun Network/ Yuda).
Membedakan Manusia dan Robot, Tantangan Baru di Era AI |
![]() |
---|
Mencoba Skin Analysis Lewat AI, Bisakah Dipercaya Hasilnya? |
![]() |
---|
AS Rilis Rencana Aksi AI Setebal 25 Halaman: Pangkas Regulasi demi Dominasi Teknologi Global |
![]() |
---|
Sikapi AI di Bidang Kesehatan, Kemenkes Pastikan Ikut Panduan WHO |
![]() |
---|
Inovasi AI Karya Kolaborasi Perwira Pertamina dan AI Accelerate Dorong Peningkatan Omzet UMKM |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.