Minggu, 5 Oktober 2025

16,16 Persen Gen Z Pengangguran: Jadi Tantangan Serius, Pengembangan Soft Skill Jadi Asa

Minimnya soft skill menjadi salah satu tantangan Gen Z masuki dunia kerja. Pemerintah dan Industri harus hadir.

Freepik.com
Ilustrasi Gen Z di dunia kerja - Minimnya soft skill menjadi salah satu tantangan Gen Z masuki dunia kerja. Pemerintah dan Industri harus hadir. 

TRIBUNNEWS.COM - Pentingnya soft skill bagi Generasi Z atau Gen Z (1997-2012) yang akan masuk ke dunia kerja memang menjadi urgensi tersendiri, terlebih dengan adanya data yang menyebut bahwa Gen Z yang baru lulus kuliah susah mendapatkan pekerjaan dan sulit menyesuaikan diri dengan dunia kerja.

Menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Senin (5/9/2025), disebutkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut kelompok umur sebagian besar ada di rentang usia 15 hingga 24 tahun.

Dari angka, jumlahnya mencapai 16,16 persen per Februari 2025.

Dari data tersebut menunjukkan bahwa angka pengangguran di rentang usia tersebut paling besar diantara kelompok umur lainnya, seperti rentang 25 hingga 59 tahun hanya sebesar 3,95 persen.

Di sisi lain Penelitian dari Randstad Workmonitor pada 2022 lalu, bahwa 41 persen Gen Z mengatakan lebih memilih jadi pengangguran dibandingkan tidak bahagia di tempat kerja.

"Jika dilihat dari financial aspect, 73 persen Gen Z mengatakan mereka lebih memilih untuk memiliki kualitas hidup yang lebih baik daripada lebih banyak tabungan di bank," ujar dr Gamal Albinsaid, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi X saat dikonfirmasi Tribunnews, Sabtu (13/9/2025).

Hingga akhirnya lahirlah sebuah pemikiran yang disebut soft saving dalam realitas kehidupan finansial Gen Z saat ini.

Dr Gamal menjelaskan bahwa soft saving adalah sebuah pemikiran berupa 'You Only Live Once' atau YOLO, hal itu berbeda dengan paradigma cara berpikir financial independent yang dimiliki para generasi sebelumnya.

Dan itu, disebut dr Gamal menjadi salah satu masalah yang dihadapi Gen Z hari ini, di mana pada akhirnya dampaknya cukup signifikan.

"Misalkan kita lihat jumlah tingkat pengangguran terbuka itu angkanya masih cukup signifikan, bisa di angka 5 persen lebih, itu salah satu problematika yang kita hadapi saat ini dalam konteks bagaimana bisa memahami tantangan-tantangan Gen Z hari ini," ujarnya lagi.

Bahkan satu laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa 9,9 juta anak muda tidak dalam pekerjaan, training ataupun edukasi.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyoroti akar masalah yang membuat Gen Z tidak siap memasuki dunia kerja bahkan minim soft skill.

Termasuk karena proses pendidikan yang diterapkan di Indonesia saat ini yang akhirnya melahirkan generasi-generasi seperti saat ini.

Dalam penilaian yang dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dalam Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, skor Indonesia masih rendah.

Termasuk terlihat dalan konteks membaca, skor literasi membaca Indonesia pada 2022 mengalami penurunan bila dibandingkan 2018. 

"Juga dalam konteks growth mindset, jadi ada satu penelitian, mereka bertanya kepada anak-anak muda di Indonesia 'Apakah kalian setuju atau tidak setuju bahwa kecerdasan tidak bisa diubah?' ternyata 71 persen lebih Gen Z itu mengatakan setuju bahwa kecerdasan itu tidak bisa diubah," ujar dr Gamal.

Hal itu pun disebut fix mindset dan menurutnya akan menghantarkan pada sebuah pola pikir intelijen yang statis dan hal itu justru akan menghambat pengembangan diri ke depan.

Baca juga: Kolaborasi TBIG dan SMK: Bantu Lulusan Percaya Diri dan Siap Kerja di Bidang Telekomunikasi

Tantangan: Gen Z Sulit Dapat Pekerjaan

Sementara itu Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema, memberikan tanggapan terkait Gen Z yang dinilai lembek dan sulit mendapatkan pekerjaan.

Seperti survei ResumeBuilder tahun 2023 menemukan bahwa 49 persen pemimpin dan manajer bisnis menganggap Gen Z sulit diajak bekerja sama. Mayoritas juga setuju Gen Z kurang memiliki keterampilan komunikasi yang efektif, motivasi, usaha, dan bahkan keterampilan teknologi dalam beberapa kasus.

Doni menilai, hasil riset tidak bisa digeneralisasi.

Namun dirinya tak memungkiri bahwa pada beberapa kelompok Gen Z masih memiliki semangat juang asal bisa diarahkan dengan baik.

"Saya masih menjumpai para mahasiswa dari kelompok usia ini yang tetap memiliki daya juang tinggi," ungkapnya.

"Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa resiliensi, daya tahan, dan sikap lembek itu juga ada di kalangan generasi yang sekarang ini," imbuhnya.

Doni mengungkapkan sejumlah faktor yang bisa saja menjadi penyebab sikap Gen Z yang dinilai memiliki kekurangan.

Terutama, banyak Gen Z yang dimanjakan oleh orang tua.

"Mungkin ya karena mereka itu hidup di dalam keluarga yang sejahtera, generasi anak-anak sekarang ini kan dididik oleh generasi milenial yang orang tuanya bekerja keras untuk mendidik generasi milenial agar sukses."

"Dan ketika generasi milenial ini sukses, mereka tidak ingin anak-anaknya itu hidup sengsara seperti mereka," ungkap Doni.

"Sehingga terjadilah apa yang disebut dengan strawberry generation, anak yang lembek, kurang daya juang, tetapi ini tidak dapat dipukul rata, karena memang tergantung dari pola asuh dan pendidikan orang tua," imbuhnya.

TBIG Ikut Serta Bantu Gen Z Kembangkan Soft Skill

Urgensi Gen Z dalam menghadapi dunia kerja turut menjadi fokus PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG).

TBIG merupakan Perusahaan infrastruktur telekomunikasi yang berbasis di Jakarta.

Head of CSR TBIG Fahmi Alatas menyebut TBIG mengembangkan program CSR Pilar Pendidikan bertajuk Bangun Cerdas Bersama dengan mengembangkan Kurikulum Unggulan.

Targetnya untuk para guru dan siswa SMK.

Tujuannya ialah meningkatkan  aksesibilitas dan kualitas pendidikan kejuruan di Indonesia.

"Kenapa kita sebut sebaga kurikulum unggulan? karena kita memasukkan kompetensi-kompetensi soft skill ke dalam materi SMK, dan di dalam pelatihan kurikulum unggulan ini," ujarnya kepada Tribunnews, dalam kelas Journalism Fellowship on Corporate Social Responsibility (CSR) 2025 Batch 2 melalui Zoom, yang digelar bekerjasama dengan Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) pada Senin (8/9/2025).

Fahmi menyebut secara intens melakukan komunikasi dengan peserta program termasuk memonitor mereka sudah bekerja atau belum.

TBIG sendiri mengadakan pelatihan fiber optik ini sebagai bagian dari CSR pendidikan mereka yang menyasar guru dan siswa SMK.

Fiber optik adalah teknologi media transmisi berupa kabel yang memiliki fungsi utama untuk mengirim informasi, mengirim data, atau menghubungkan jaringan.

Pihaknya menyampaikan bahwa program ini dilatarbelakangi oleh survei tahun 2015-2016 yang menunjukkan masih rendahnya kualitas infrastruktur di banyak SMK swasta di Indonesia.

“Sekitar 80 persen sekolah yang kami survei tidak memiliki peralatan memadai, khususnya untuk bidang fiber optik. Ini yang coba kami bantu lewat pelatihan ini,” terang Fahmi dalam pemaparan dalam kelas Journalism Fellowship on Corporate Social Responsibility (CSR) 2025 Batch 2 melalui Zoom, yang digelar bekerjasama dengan Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) pada Senin (8/9/2025).

Program ini menjadi bentuk nyata kolaborasi dunia industri dan pendidikan vokasi, yang diharapkan dapat memperkuat kesiapan siswa SMK dalam menghadapi dunia kerja dan memperluas kesempatan kerja di bidang teknologi dan telekomunikasi.

(Tribunnews.com/Garudea Prabawati)

 

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved