Demo di Jakarta
Refly Harun: Negara yang Memproses Hukum Orang Bersuara adalah Negara dengan Demokrasi Sontoloyo
Menurut Refly, penggunaan instrumen hukum pidana oleh institusi negara terhadap warga sipil hanya akan menimbulkan rasa takut dan membungkam kritik.
Penulis:
Rifqah
Editor:
Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Pakar hukum tata negara, Refly Harun, mengatakan bahwa negara yang saat ini masih memproses hukum orang yang bersuara di ruang publik merupakan negara yang demokrasinya sontoloyo yang merujuk pada tindakan konyol atau tidak beres.
Refly menilai iklim ketakutan untuk bersuara di Indonesia kini semakin menguat.
Hal ini juga diperparah dengan rencana TNI yang hendak mempidanakan CEO Malaka Project, Ferry Irwandi, terkait dugaan pencemaran nama baik.
Belakangan ini Ferry Irwandi kerap tampil menyuarakan 17+8 Tuntutan Rakyat.
Selain itu, di tengah situasi yang memanas saat demo beberapa waktu lalu, Ferry Irwandi juga menjadi sorotan usai menyampaikan kritik pedas dan berani terhadap salah satu anggota DPR.
Sikap beraninya saat menyuarakan kegelisahan publik di tengah polemik ini langsung menuai reaksi beragam.
Kasus ini kemudian menjadi memanas setelah pihak TNI melalui Komandan Satuan Siber TNI, Brigjen Juinta Omboh Sembiring mendatangi Markas Polda Metro Jaya melakukan konsultasi pelaporan Ferry Irwandi.
Sosok Ferry Irwandi diduga disebutkan telah melakukan pencemaran nama baik institusi TNI. Bahkan, Jenderal TNI bintang satu itu datang dengan sejumlah fakta yang mengarah pada dugaan tindak pidana oleh Ferry Irwandi.
Menurut Refly, penggunaan instrumen hukum pidana oleh institusi negara terhadap warga sipil hanya akan menimbulkan rasa takut dan membungkam kritik.
Dia menegaskan bahwa kritik seharusnya dipandang sebagai kontrol publik, bukan dianggap sebagai ancaman bagi institusi.
Refly pun mengatakan bahwa negara yang memproses hukum orang yang bersuara atau berpendapat di ruang publik itu merupakan negara yang demokrasinya tidak beres.
Baca juga: Anggota Komisi I DPR Respons Isu TNI Ingin Pidanakan Ferry Irwandi: Banyak Kasus Lebih Mendesak
"Menurut saya kalau Pak Prabowo ingin melindungi demokrasi ya, maka dengarkanlah pernyataan saya ini ya, begini, negara yang masih memproses hukum orang yang bersuara, berpendapat di ruang publik itu negara yang demokrasinya sontoloyo saya bilang," tegas Refly, dikutip dari YouTube Official iNews, Jumat (12/9/2025).
Refly juga menegaskan bahwa demokrasi itu merupakan bentuk kebebasan, sehingga seharusnya tidak bisa mengkriminalkan seseorang.
"Nggak ada demokrasi itu bisa mengkriminalkan karena itu adalah kebebasan. Lalu pertanyaannya adalah bagaimana kalau Anda menganggap bahwa apa yang saya sampaikan tidak benar? Silakan kontra argumen di ruang publik," ungkapnya.
"Kalau saya media minta hak jawab. Kalau tidak puas hak jawab ke Dewan Pers, kan begitu," imbuh Refly.
DPR Ingatkan TNI Jaga Supremasi Sipil
Menanggapi mengenai adanya rencana pelaporan Ferry Irwandi ini, Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, meminta TNI agar tetap profesional dalam menjalankan tugasnya, termasuk menghormati supremasi sipil.
"Menghormati supremasi sipil, menghormati HAM dan berpegang pada jati diri bangsa," ujar Abdullah kepada wartawan, Jumat (12/9/2025).
Abdullah juga mengatakan, rencana TNI untuk melaporkan Ferry Irwandi ke polisi justru akan mempersempit ruang demokrasi.
Dengan ini, masyarakat sipil dikhawatirkan takut dan semakin berhati-hati dalam menyampaikan pendapatnya.
"Padahal berkumpul dan menyampaikan pendapat adalah hak yang dilindungi dan ini adalah mekanisme yang mesti dijalankan untuk terus meningkatkan kualitas demokrasi melalui partisipasi rakyat dan check and balances antar lembaga," ujar Abdullah.
Abdullah juga menyinggung soal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur bahwa lembaga negara tidak boleh memperkarakan pencemaran nama baik.
"Saya menilai tak perlu dilanjutkan, karena rencana pelaporan tersebut tidak sesuai dengan UUD 1945, UU TNI dan Putusan MK Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024," tandasnya.
Adapun putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) itu dibacakan pada 29 April 2025 lalu.
Dalam salinan putusannya, para hakim konstitusi menyoroti kebebasan berekspresi yang merupakan hak asasi manusia (HAM).
“Hak kebebasan berekspresi dimaksud merupakan salah satu hak asasi manusia yang menempati posisi penting untuk menjaga negara yang demokratis, akuntabilitas kekuasaan, dan perwujudan partisipasi publik dalam pemerintahan yang efektif,” dikutip dari salinan Putusan MK Nomor 105, Jumat.
MK juga menegaskan, kebebasan berekspresi merupakan hak asasi yang mendapat jaminan kuat baik dalam konstitusi maupun instrumen hukum internasional.
Meski begitu, kebebasan tersebut tidak bersifat absolut.
Pada UUD 1945 melalui Pasal 28J ayat (2), memberikan ruang pembatasan, sepanjang dilakukan dengan undang-undang, demi melindungi hak orang lain serta menjaga moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Dalam konteks ruang digital, MK menekankan negara memiliki kewajiban ganda.
“Negara tidak hanya dituntut untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kebebasan berekspresi di ruang digital, tetapi juga berkewajiban memastikan bahwa setiap pembatasan atas ekspresi di ruang tersebut tetap tunduk pada prinsip legalitas, legitimasi tujuan, dan proporsionalitas,” lanjut isi salinan tersebut.
Pertimbangan ini menjadi dasar ketika MK membatasi makna pasal-pasal dalam UU ITE.
Sehingga, laporan pencemaran nama baik tidak bisa diajukan oleh institusi atau lembaga, termasuk TNI, melainkan hanya oleh individu yang merasa dirugikan secara langsung.
(Tribunnews.com/Rifqah/Reza/Mario)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.