Minggu, 5 Oktober 2025

Post-Truth dan AI: Dua Tantangan Besar yang Harus Dijawab Konstitusi

Bambang Soesatyo mendorong amandemen kelima UUD 1945 agar negara adaptif di era post-truth dan AI dengan tetap menjaga prinsip demokrasi dan etika.

Editor: Content Writer
Istimewa
CATATAN POLITIK BAMSOET - Menurut Bambang Soesatyo, perubahan zaman selalu membawa tantangan bagi negera dan masyarakat. Dalam catatan politiknya, ia mengatakan peradaban sudah melakoni era pasca kebenaran atau post-Truth dan integrasi kecerdasan buatan atau AI (artificial intelligence) pada berbagai aspek kehidupan manusia. 

TRIBUNNEWS.COM - Bambang Soesatyo mengatakan perubahan zaman selalu membawa tantangan bagi negera dan masyarakat.

Menurutnya, peradaban sudah melakoni era pasca kebenaran atau post-Truth dan integrasi kecerdasan buatan atau AI (artificial intelligence) pada berbagai aspek kehidupan manusia.

"Sudah terbukti pula bahwa fenomena post-truth dan Integrasi AI sering menghadirkan ekses. Maka, demi stabilitas dan terjaganya ketertiban umum, Undang-undang Dasar (UUD) 1945 bersama semua peraturan perundang-undangan di bawahnya patut diperbarui agar negara-bangsa adaptif dengan perubahan zaman dan perkembangan teknologi itu," kata Bamsoet dalam catatan politiknya yang berjudul 'Membarui Konstitusi Agar Negara Adaptif di Era AI-Post Truth' yang diterima Tribunnews, Senin (08/09/2025).

Diakui atau tidak, Bamsoet mengemukan bahwa fenomena post-truth sudah menjadi norma baru tak tertulis yang diadopsi banyak komunitas. Fenomena ini mengemuka, ditandai oleh banjir materi informasi yang salah (disinformasi) atau tidak benar (hoax) yang disebarluaskan di ruang publik.

"Tidak berpijak pada fakta obyektif, pembuat atau perancang disinformasi lebih mengutamakan emosi dan keyakinan personal. Melalui media sosial, disinformasi atau hoax menyebar dengan cepat, dan menyulitkan banyak individu atau komunitas untuk memilah dan membedakan asli-palsu serta benar-salah," jelasnya.

Seorang pemuka agama mendeskripsikan era post-truth sebagai fenomena "yang penting eksis, bukan benar atau salah". Tentu saja berlawanan dengan prinsip kebenaran dan keadilan.

Sebab, argumentasi tidak lagi dinilai berdasarkan benar atau salah, tetapi berdasarkan kemampuan seseorang mempertahankan eksistensinya. Tak pelak, fenomena post-truth menjadi tantangan besar karena mengikis nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Inilah tantangan bagi konstitusi negara plus semua peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Baca juga: Catatan Politik Bamsoet: Inisiatif Presiden Prabowo Perbaiki Tatanan yang Tidak Ideal

Ekses post-truth itu nyata dan sudah dialami begitu banyak orang, termasuk tentu saja negara dan pemerintah. Post-truth menggerus kepercayaan publik terhadap ragam informasi yang mengemuka di ruang publik. Masyarakat terkotak-kotak karena disinformasi sengaja dirancang untuk menyerang atau menista kelompok lain.

"Jadi, tak kalah seriusnya dari fenomena post-truth adalah potensinya menganggu stabilitas nasional dan ketertiban umum," paparnya.

Disinformasi pun tak jarang membentuk persepsi ketidakpastian terhadap kebijakan publik yang diberlakukan regulator atau pemerintah. Kebohongan dan informasi yang menyesatkan selalu memengaruhi opini publik. Tak jarang, sebagian masyarakat menjadi skeptis pada pernyataan dari pejabat publik atau lembaga resmi.

"Baru-baru ini, pernyataan seorang menteri tentang kesejahteraan guru diubah esensi dan nuansanya menjadi merendahkan martabat komunitas pendidik. "Sebagian komunitas sempat percaya," tegas Bamsoet.

Setelah ditelusuri untuk klarifikasi, esensi pernyataan dimaksud tak mengandung tendensi atau niat merendahkan martabat. Ada begitu banyak contoh kasus serupa yang hampir setiap hari dimunculkan di ruang publik melalui media sosial. 

Dalam konteks demokrasi elektoral, ekses fenomena post-truth pun nyata dan sering masif. Kompetisi di antara para kontestan tak jarang justru menjadi dapur yang memproduksi dan menyemburkan disinformasi atau hoax.

"Mereka yang memihak atau simpatisan kontestan akan percaya, sementara kelompok pesaing juga akan membalas dengan hoax. Penyebarluasan disinformasi atau hoax yang intensif bisa mengganggu pemilihan umum dengan segala prosesnya," kata Anggota DPR RI tersebut.

Sebab, gelombang hoax yang intensif bisa menjadi dorongan kuat kepada sebagian publik pemilih untuk ragu-ragu terhadap fakta. Sudah ada catatan historis yang memberi bukti bahwa penyebaran hoaks bernuansa politik berpotensi melemahkan ketahanan nasional.

Baca juga: Catatan Politik Bamsoet: Bela Negara Merawat Eksistensi Keutuhan dan Kedaulatan NKRI 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved