CHED: Lobi Politik Kuat sampai Level Desa Jadi Kendala Terbesar Pengendalian Rokok
CHED menyoroti dilema antara penerimaan negara dari cukai rokok dengan biaya sosial dan kesehatan yangditanggung masyarakat akibat rokok.
Penulis:
Danang Triatmojo
Editor:
Endra Kurniawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga pengembangan dan riset sosial-ekonomi, Center of Human and Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITBAD) yang berlokasi di Tangerang Selatan, Banten, menyoroti dilema antara penerimaan negara dari cukai rokok dengan biaya sosial dan kesehatan yang harus ditanggung masyarakat akibat konsumsi rokok.
CHED yang didirikan pada 5 April 2019 ini didedikasikan untuk kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia yang lebih baik.
Termasuk konsen dalam hal konsumsi rokok seperti yang dilaporkan dalam konferensi pers bertajuk 'Membaca RAPBN 2026: Target Penerimaan Cukai Rokok untuk Rakyat apa Pemerintah?' di Jakarta Pusat, Jumat (22/8/2025).
Kepala Pusat Studi CHED ITBAD, Roosita Meilani Dewi menyebut fenomena ekonomi rokok di Indonesia sebagai Serakahnomics.
Serakahnomics dapat diarikan sebagai kegiatan ekonomi yang didasarkan pada keserakahan individu untuk mendapatkan keuntungan pribadi secara tidak wajar.
Pasalnya industri ini sengaja menyasar anak-anak, remaja, dan kelompok miskin agar mereka kecanduan dan terkunci dalam pola konsumsi. Ketika industri meraup untung besar, beban kesehatan dan sosial dipindahkan ke masyarakat.
“Industri rokok mengeksploitasi konsumen kecanduan, membuat masyarakat terkunci dalam pola konsumsi. Mereka sengaja menyasar anak-anak, remaja, perempuan, dan kelompok miskin. Industri meraup untung besar, tapi biaya kesehatan dan sosial dipindahkan ke masyarakat,” kata Roosita dalam keterangannya, Sabtu (23/8/2025).
Baca juga: Anggota DPR Usul Ada Gerbong Kereta Khusus Merokok, KAI Tegaskan KA Bebas Asap Rokok
Sementara itu penasihat senior CHED ITBAD, Mukhaer Pakkanna mengamini hal yang sama. Menurutnya industri rokok memperkaya diri melalui eksploitasi kelompok rentan. Alhasil ekonomi keluarga miskin banyak dialihkan untuk membeli rokok.
“Surplus ekonomi keluarga miskin banyak dialihkan ke industri rokok. Industri rokok menjadi kaya raya berkat kontribusi masyarakat miskin, petani tembakau, buruh industri, bahkan anak-anak yang menjadi konsumen,” ungkap Mukhaer.
Ia pun mengingatkan bahwa kendala terbesar pengendalian rokok di Indonesia bukan semata aspek ekonomi, tapi juga unsur politik. Ia menyebut intervensi industri tembakau jadi hambatan utama pengendalian tembakau.
“Industri rokok memiliki lobi politik yang kuat, bahkan hingga level desa. Intervensi industri tembakau (Tobacco Industry Interference/TII) adalah hambatan utama dalam pengendalian tembakau,” tegasnya.
Sekretaris Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (Adinkes), Halik Sidik membeberkan ketimpangan biaya dan penerimaan daerah terkait rokok.
Ia menyebut pemerintah daerah harus mengeluarkan Rp5,4 miliar per tahun untuk menangani penyakit akibat rokok. Sedangkan pajak iklan rokok hanya sekitar Rp150 juta.
“Biaya pemerintah daerah untuk menangani penyakit akibat rokok mencapai Rp5,4 miliar per tahun, sementara pajak iklan rokok hanya sekitar Rp150 juta. Tidak rasional jika penerimaan lebih kecil dibanding biaya kerugian,” jelas Halik.
Selain itu beban BPJS Kesehatan semakin berat dengan klaim penyakit katastropik akibat rokok. Seperti jantung, gagal ginjal, kanker dan stroke. Keempat penyakit ini memiliki biaya klaim terbesar.
Baca juga: Pesan Gibran untuk Penerima BSU: Uang Bantuan Jangan Dipakai Beli Rokok, Utamakan Sembako
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.