Royalti Musik
Polemik Royalti Musik, Praktisi Hukum Deolipa Yumara Desak Audit LMKN Demi Transparansi
Praktisi hukum sekaligus musisi, Deolipa Yumara, mendesak agar Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) diaudit secara menyeluruh.
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktisi hukum sekaligus musisi, Deolipa Yumara, mendesak agar Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) diaudit secara menyeluruh.
LMKN adalah lembaga pemerintah non-APBN yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta untuk mengelola royalti lagu dan musik di Indonesia. Kewenangannya menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari pengguna komersial lagu dan musik, serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait.
Desakan muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap dugaan kurangnya transparansi dalam pengelolaan dan distribusi royalti musik di Indonesia.
Sebagai lembaga non-struktural di bawah Kementerian Hukum dan HAM, LMKN memiliki kewenangan mengelola royalti musik atas nama negara, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Namun, menurut Deolipa, distribusi royalti yang dilakukan LMKN tidak berjalan secara terbuka dan akuntabel.
Baca juga: Once Mekel Apresiasi Aturan Baru Royalti Musik, Bisa Dorong Optimalisasi Peran LMK dan LMKN
“Mereka ini non-struktural, tapi diberi wewenang institusional untuk mengelola royalti musik. Mereka adalah wakil dari negara karena diatur oleh undang-undang,” ujar Deolipa dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Selasa (19/8/2025).
Deolipa mengungkap, banyak pencipta lagu hanya menerima royalti dalam jumlah sangat kecil, bahkan tidak sebanding dengan besar penarikan royalti dari pelaku usaha di sektor hiburan.
Beberapa pencipta lagu, katanya, hanya menerima Rp 200 ribu hingga Rp 700 ribu per tahun.
Baca juga: Soal Kisruh Royalti Musik, Istana Dorong Dialog Win-Win untuk Seniman dan Pelaku Usaha
“Ada keluhan dari pencipta lagu yang cuma dapat royalti kecil, padahal LMKN menagih ke hampir semua usaha hiburan,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti satu kasus penarikan royalti yang dianggap tidak wajar, yaitu tagihan kepada jaringan restoran Mie Gacoan yang diklaim mencapai Rp 2,4 miliar dalam setahun.
“Pertanyaannya, uangnya ke mana? Publik berhak tahu. Itu sebabnya saya minta LMKN diaudit. Bahkan Ari Lasso pun meminta hal serupa,” tegas Deolipa.
Deolipa juga menilai lemahnya regulasi dan pengawasan terhadap LMKN menimbulkan potensi penyimpangan.
Menurutnya, sistem penagihan yang tidak merata berpotensi menimbulkan kecurigaan publik.
“Regulasinya lemah, pengawasannya juga seperti kongkalikong. Kalau semua target penagihan berjalan baik, pasti ada dana besar yang kemudian tidak jelas ke mana,” katanya.
Ia bahkan menganalogikan LMKN sebagai “tukang tagih” yang menggunakan pendekatan represif terhadap pelaku usaha.
“Mereka seperti centeng. Kalau tidak bayar, diancam dipidana. Lebih galak dari orang pajak,” ucapnya.
Deolipa menilai bahwa status LMKN sebagai lembaga non-struktural menjadikan posisi dan fungsinya tidak jelas.
“Karena non-struktural, statusnya jadi abu-abu. Bisa ke mana-mana. Dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan jelas,” ujarnya.
Sebagai solusi jangka panjang, Deolipa mendorong pemerintah dan DPR untuk segera menyusun undang-undang baru yang lebih konkret dan berpihak pada pencipta lagu.
“Undang-undang yang sekarang tidak cukup melindungi kepentingan pencipta lagu. Kita perlu aturan baru yang konkret,” katanya.
Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menanggapi desakan audit dengan menyatakan bahwa audit bertujuan untuk memperbaiki sistem, bukan untuk mencari kesalahan.
“Audit bukan untuk mencari siapa yang salah, tapi untuk menentukan sistem yang paling tepat. Tuntutan publik juga masuk akal,” ujar Supratman di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/8/2025).
Ia juga mengingatkan agar LMKN tidak membebani pelaku UMKM dan meminta agar proses diskusi dengan pelaku usaha dilakukan secara terbuka.
Sementara itu, Presiden Direktur WAMI, Adi Adrian, menyatakan kesiapannya untuk diaudit ulang sebagai bentuk komitmen terhadap akuntabilitas lembaga.
“Kami sudah diaudit secara berkala, tapi kalau perlu diaudit lagi, kami siap. Ini bagian dari tanggung jawab kepada anggota kami,” ujar Adi Adrian, Selasa (19/8/2025).
Dukungan juga datang dari DPR. Anggota Komisi XIII, Iman Sukri, menegaskan pentingnya audit untuk melindungi hak-hak seniman.
“Tidak boleh ada penyimpangan, karena ini menyangkut hak hidup para seniman,” kata Iman Sukri.
Sosok Deolipa Yumara
Deolipa Yumara adalah seorang praktisi hukum, advokat, dan musisi asal Indonesia. Ia dikenal publik lewat kiprahnya sebagai pengacara dalam kasus-kasus besar, termasuk perkara Bharada Richard Eliezer dalam kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J; Fariz RM; dan Angel Lelga.
Selain aktif di dunia hukum, Deolipa juga berkarya sebagai vokalis band Deolipa Project dan kepala sekolah musik Chic’s Music Jakarta. Dan ia kerap menyuarakan isu transparansi, termasuk dalam pengelolaan royalti musik dan transparansi lembaga negara.
Dasar Hukum Pengelolaan Royalti
Sistem pengelolaan royalti di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menetapkan bahwa pencipta dan pemilik hak terkait berhak atas imbalan ketika karya mereka digunakan secara komersial.
Dalam sistem ini, LMKN bertugas memungut royalti dari para pengguna karya cipta, termasuk pelaku usaha di sektor hiburan, hotel, transportasi, dan lainnya.
Dana tersebut kemudian didistribusikan ke Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) seperti Wahana Musik Indonesia (WAMI), yang menjadi perantara penyaluran royalti ke pencipta lagu dan pemilik hak cipta.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.