Fahira Idris: Pengentasan Kemiskinan Jadi Investasi Stabilitas Nasional, Bukan Urusan Sosial Semata
Fahira Idris, menilai langkah Pemerintah membangun Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) merupakan terobosan penting.
Hasiolan EP/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPD RI asal DKI Jakarta, Fahira Idris, menilai langkah Pemerintah membangun Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) merupakan terobosan penting dalam upaya mengatasi kemiskinan secara menyeluruh.
Sistem ini diyakini mampu memastikan program-program pengentasan kemiskinan lebih tepat sasaran sehingga target nol persen kemiskinan ekstrem dapat tercapai dalam waktu singkat.
Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) adalah sistem integrasi data yang menggabungkan berbagai informasi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
DTSEN menyatukan data dari DTKS, P3KE, dan Regsosek menggunakan NIK sebagai pengenal utama, sehingga menghasilkan basis data yang akurat dan menyeluruh untuk keperluan kebijakan publik.
Tujuan utama DTSEN adalah memastikan bantuan sosial dan subsidi pemerintah tepat sasaran, menghindari tumpang tindih data antar lembaga, serta mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem.
Data diperbarui setiap tiga bulan dan digunakan untuk menentukan penerima bansos seperti PKH dan BPNT, berdasarkan klasifikasi kesejahteraan dalam sistem desil.
DTSEN diresmikan melalui Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2025 dan menjadi acuan utama dalam perencanaan anggaran perlindungan sosial, termasuk alokasi Rp 508,2 triliun pada tahun 2026.
Sistem ini memperkuat transparansi dan efisiensi dalam penyaluran bantuan serta mendukung pembangunan yang lebih inklusif.
“Saya mengapresiasi Pemerintahan Presiden Prabowo yang menempatkan pengentasan kemiskinan sebagai prioritas nasional, sejajar dengan pembangunan infrastruktur dan investasi. Isu ini bukan sekadar urusan sosial, melainkan juga investasi ekonomi dan stabilitas nasional. Visi Indonesia Maju 2045 hanya akan kokoh bila seluruh rakyat tumbuh bersama,” kata Fahira Idris dikutip, Senin (18/8/2025).
Menurutnya, pengentasan kemiskinan tidak cukup dilakukan dengan pendekatan karitatif seperti bantuan sosial semata, tetapi harus menyentuh akar masalah melalui langkah-langkah struktural dan sistemik.
Pendidikan, misalnya, perlu dijadikan jalan utama mobilitas sosial vertikal.
Fahira mendorong agar sekolah rakyat diperbanyak untuk anak-anak dari keluarga termiskin dengan sistem asrama dan kurikulum terintegrasi, sekaligus memperluas afirmasi pendidikan tinggi bagi anak-anak dari daerah tertinggal.
Di bidang ekonomi, ia menekankan pentingnya penguatan UMKM inklusif sebagai pilar ekonomi lokal yang tahan terhadap kemiskinan.
Pemberdayaan ini mencakup akses permodalan, digitalisasi, pelatihan, hingga inkubasi, dengan fokus pada koperasi, ekonomi kreatif, serta rantai pasok pertanian rakyat.
Fahira juga menilai perlunya transformasi bagi pekerja rentan ke dalam sistem jaminan sosial universal.
Buruh tani, nelayan, pedagang kecil, hingga ojek daring harus dilindungi oleh jaminan sosial. Pemerintah dapat memperluas cakupan BPJS Ketenagakerjaan bagi kelompok pekerja informal tersebut, bahkan dengan menanggung subsidi iuran mikro sampai pendapatan mereka stabil.
Aspek kesehatan pun tidak luput dari sorotan. Ia menekankan pentingnya intervensi gizi dan sanitasi sejak 1.000 hari pertama kehidupan.
Upaya pencegahan stunting melalui distribusi makanan bergizi, edukasi ibu hamil, serta percepatan pembangunan sanitasi menjadi investasi jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia. Konsep Satu Desa Satu Dapur Gizi disebutnya dapat menjadi salah satu model yang bisa diterapkan.
Selain itu, menurut Fahira, redistribusi peluang harus diutamakan, bukan hanya redistribusi bantuan.
Ia mendorong perbaikan struktur pajak agar lebih progresif, misalnya dengan penambahan tarif untuk penghasilan di atas Rp2,5 miliar per tahun. Penerimaan negara dari kebijakan ini bisa dialokasikan untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan penyediaan rumah layak huni bagi masyarakat miskin.
Ia juga menegaskan bahwa pengentasan kemiskinan harus dibarengi dengan upaya mengurangi ketimpangan. Rasio gini yang tinggi dapat menjadi bom waktu sosial jika tidak diatasi.
Karena itu, indikator pembangunan berkeadilan harus dihadirkan di setiap daerah, dengan perencanaan infrastruktur, distribusi layanan dasar, dan fiskal daerah yang berlandaskan pada prinsip keadilan (equity), bukan sekadar kesamarataan (equality).
Baca juga: Fahira Idris: Sekolah Rakyat Perlu Standar Mutu Nasional dan Kurikulum Kontekstual
“Menurunkan angka kemiskinan berarti juga mengurangi ketimpangan. Inilah fondasi penting agar pembangunan nasional benar-benar berkeadilan,” kata Fahira.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
Fahira Idris
DPD RI
kemiskinan
Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN)
SDG01-Tanpa Kemiskinan
Mensos Gus Ipul Dorong Kabupaten Lima Puluh Kota untuk Segera Realisasikan Sekolah Rakyat |
![]() |
---|
Tujuh Langkah Transformasi, Jakarta Ditarget Masuk 10 Besar Transportasi Publik Dunia |
![]() |
---|
Ketua DPD Sultan Minta Pemerintah Tinjau Ulang Pemotongan Alokasi TKD dalam RAPBN 2026 |
![]() |
---|
Datangi BAP DPD, Suku Besar Sebyar Teluk Bintuni Perjuangkan Kompensasi dari Proyek BP LNG Tangguh |
![]() |
---|
Rapat Tripartit: DPD RI Serahkan Empat RUU, Usulkan Masuk Prolegnas Prioritas 2025 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.