Kubu Roy Suryo Tuding Ada 'Orang Besar' di Balik Silfester Matutina, Klaim Jokowi Ikut Berperan
Menurut Ahmad, hal yang membuat Silfester belum dieksekusi hingga sekarang karena ada 'orang besar' di balik Silfester Matutina.
TRIBUNNEWS.COM - Kuasa hukum Roy Suryo, Ahmad Khozinudin, mengatakan bahwa ada orang besar di balik Silfester Matutina yang hingga sekarang belum juga dieksekusi, padahal sudah divonis 1,5 tahun penjara atas kasus fitnah Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK).
Meski putusan Mahkamah Agung inkrah sejak 2019, eksekusi penahanan belum dilakukan hingga Agustus 2025 ini atau enam tahun berlalu.
Dalam konteks hukum, "sudah inkrah" atau "inkracht van gewijsde" berarti bahwa suatu putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap, sehingga sudah tidak bisa diganggu gugat dan harus dieksekusi.
Kejaksaan Agung sempat mengeluarkan ultimatum pada 4 Agustus 2025, tetapi rencana eksekusi tidak terlaksana karena Silfester hadir memenuhi panggilan sebagai saksi dalam kasus dugaan ijazah palsu Joko Widodo (Jokowi).
Silfester sempat mengaku bahwa ucapannya tidak bermaksud memfitnah JK dan kasusnya telah berakhir damai. Namun, Tim Advokasi Anti Kriminalisasi menegaskan bahwa perdamaian pribadi tidak membatalkan vonis pidana.
Spekulasi publik menilai Silfester memiliki koneksi di lingkar kekuasaan, namun Kejaksaan Agung membantah adanya hubungan keluarga dengan pejabat pelaksana eksekusi.
Kejaksaan Agung mengungkap bahwa pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor utama yang menghambat pelaksanaan eksekusi, yang saat itu diumumkan pada 2 Maret 2020.
Namun, menurut Ahmad, hal yang membuat Silfester belum dieksekusi hingga sekarang karena ada faktor politik dan ada 'orang besar' di balik terpidana kasus pencemaran nama baik tersebut.
"Analisis politiknya adalah ada orang besar di balik kasus ini," ungkap Ahmad, dikutip dari YouTube Official iNews, Jumat (15/8/2025).
Ahmad lantas mengatakan, Silfester salah jika menuding ada 'orang besar' di balik kasus ijazah Jokowi, karena eks Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024 itu hingga kini juga belum ditahan padahal sudah divonis hukuman.
Sehingga, diyakini bahwa ada orang besar di balik kasus Silfester tersebut.
Baca juga: Eksekusi Silfester Matutina Tertunda Sejak 2019, Kejagung Ungkap Faktor Penghambat
"Sehingga keliru sekali kalau sebelumnya Silfester Matutina menuduh kami ada orang besar di belakangnya di balik perjuangan ijazah palsu. Justru kasus yang sudah inkrah tidak bisa dieksekusi itu ya, kita yakini ada orang besar."
"Yang dimaksud orang besar tentu bukan dalam pengertian secara langsung atau zahir, tapi ini adalah kinayah kiasan saja. Ada dua ukuran orang besar itu. Pertama besar secara politik, yang kedua secara finansial," kata Ahmad.
Berdasarkan analisis politiknya, Ahmad mengatakan bahwa ada peran Jokowi di balik ini semua.
Apalagi, Silfester sebelumnya juga dinilai dekat dengan Jokowi karena menjadi relawan Jokowi sebagai Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet).
Kemudian, pada 2019 lalu, Jokowi juga masih menjabat sebagai Presiden RI.
"Kalau secara politik nyambung karena saudara Silfester Matutina ini adalah relawan Jokowi melalui solmet solidaritas merah putih dan di 2019 posisi saudara Jokowi sendiri adalah presiden," ucap Ahmad.
Dari faktor-faktor itulah, Ahmad menyimpulkan bahwa secara politik, Jokowi merupakan 'orang besar' di balik tidak dieksekusinya Sifester.
"Maka saudara Jokowi secara politik adalah orang besar dan kita patut menduga ada Jokowi orang besar tersebut di balik tidak dieksekusinya Silfester Matutina," tegasnya.
Duduk Perkara
Mahkamah Agung (MA) pada 20 Mei 2019 menolak kasasi Silfester melalui putusan Nomor 287 K/Pid/20193, memperberat hukumannya menjadi 1,5 tahun penjara.
Putusan ini menegaskan Silfester terbukti memfitnah JK dengan menuding mantan Wapres menggunakan isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dan menuduh keluarga JK melakukan praktik korupsi demi kepentingan politik.
Adapun, kasus bermula dari aksi demonstrasi yang digelar Silfester selaku Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) di Mabes Polri pada 15 Mei 2017.
Laporan hukum diajukan kuasa hukum JK, berlanjut ke PN Jakarta Selatan sebelum MA menolak kasasi.
Namun, Silfester pernah mengaku bahwa ucapannya tidak bermaksud memfitnah JK dan kasusnya telah berakhir damai.
“Saya merasa tidak memfitnah JK, tapi adalah bentuk anak bangsa menyikapi masalah bangsa kita,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa hubungannya dengan JK tetap baik, dengan dua hingga tiga kali pertemuan, tanpa rasa kebencian.
Akan tetapi, sampai sekarang Silfester belum juga ditahan hingga memunculkan banyak spekulasi publik, terlebih lagi pada 18 Maret 2025, Menteri BUMN Erick Thohir menunjuknya sebagai Komisaris Independen ID Food (PT Rajawali Nusantara Indonesia), sesuai SK Menteri BUMN No. SK-58/MBU/03/2025.
BUMN menyatakan penunjukan mengikuti prosedur hukum dan penilaian kompetensi. Namun, penunjukan ini menuai kritik, termasuk dari mantan Wakapolri Oegroseno dan Komisi VI DPR, yang menilai pengangkatan terpidana ke jabatan publik berpotensi melanggar prinsip integritas dan transparansi.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, mengatakan bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap Silfester urung dilakukan karena terbentur dengan berbagai faktor, salah satunya pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 secara global ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020, setelah virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) pertama kali terdeteksi di Wuhan, Tiongkok pada 31 Desember 2019.
Kemudian, kasus pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan pada 2 Maret 2020, ketika dua pasien di Depok, Jawa Barat, dinyatakan positif setelah kontak dengan warga negara Jepang yang terinfeksi.
"Kita sudah lakukan, sudah inkrah. Saat itu sempat dieksekusi karena sempat hilang, kemudian keburu covid, jangankan memasukkan orang (ke dalam penjara) yang di dalam saja harus dikeluarkan," kata Anang kepada wartawan, Kamis (14/8/2025).
Anang pun membantah bahwa belum terlaksananya eksekusi terhadap Silfester karena adanya tekanan politik.
Tudingan adanya tekanan politik ini berarti ada dugaan bahwa proses eksekusi hukum tertunda bukan karena alasan teknis semata, melainkan karena pengaruh dari pihak-pihak yang memiliki kekuatan politik.
"Gak ada (tekanan politik). (Saya pindah) setelah covid," tegas Anang.
Anang sebelumnya juga telah menegaskan bahwa pihaknya selaku aparat penegak hukum (aph) berkomitmen akan tetap menjalani apa yang sudah diputuskan oleh pengadilan.
"Bagi Kejaksaan tetap melaksanakan sesuai dengan aturannya, kita kan sudah inkrah artinya terlepas dari ada perdamaian," kata Anang kepada wartawan di Gedung Puspenkum Kejagung, Rabu (6/8/2025).
Proses eksekusi itu akan tetap dijalankan, terlebih klaim Silfester yang mengaku sudah damai dengan JK terjadi usai adanya putusan pengadilan.
Anang pun menjelaskan bahwa hal itu akan berbeda jika perdamaian antara Silfester dan JK terjadi sebelum adanya tahap penuntutan dari Jaksa, maka bisa saja hal itu akan dipertimbangkan untuk menghentikan kasus tersebut.
"Tapi kan ini sudah (putusannya sudahlah) selesai. Artinya ya silakan saja nanti punya cara-cara lain. Yang jelas Kejaksaan akan melaksanakan nantinya eksekusi terhadap keputusan pengadilan tersebut," kata dia.
Anang menuturkan, pihak yang berwenang melakukan eksekusi terhadap Silfester yakni Jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan (Jaksel).
Sebab, Jaksa dari Kejari Jaksel yang selama ini menangani perkara dugaan pencemaran nama baik tersebut.
"Karena secara ini perkaranya Pidum (Pidana Umum) dan kewenangannya dari Jaksa yang menanganinya, eksekutornya Kejari," ucapnya.
(Tribunnews.com/Rifqah/Fahmi)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.