Senin, 29 September 2025

Kesepakatan Tarif Indonesia-AS: Strategi Prabowo Jaga Netralitas Geopolitik

Kesepakatan Tarif antara Presiden Prabowo dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menuai respons beragam dari publik di tanah air.

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Hasanudin Aco
Istimewa/Tribunnews.com
SEMINAR KESEPAKATAN DAGANG RI-AS -- Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin di seminar bertajuk “Antara Amerika dan China: Indonesia di Era Perang Dagang Trump 2.0." Seminar ini diselenggarakan Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) di kampus Universitas Paramadina, Jakarta, 31 Juli 2025. 

Ia mengkhawatirkan apa yang Indonesia telah tawarkan pada AS dalam kesepakatan tarif pada awal Juli 2025 ini menjadi preseden yang sangat buruk, karena akan dipertanyakan oleh mitra dagang Indonesia yang lain, seperti China, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, dan negara-negara mitra yang lain. 

“Mereka akan bertanya mengapa Indonesia hanya menawarkan kepada AS, dan tidak kepada yang lain,” tutur Lily. Oleh karenanya, Lily meminta agar dilakukan negosiasi kembali terhadap tarif yang telah disepakati sesuai dengan hukum internasional dan prinsip saling menghormati. 

Terkait dengan hubungan ekonomi Indonesia China, Lily mengingatkan bahwa China sebenarnya juga memiliki isu struktural. “Pertama adalah kapasitas yang berlebih (over capacity), sedangkan yang kedua adalah subsidi yang berlebih pada sektor industrial,” tegasnya. 

Lily menghimbau agar dalam melakukan negosiasi dengan China, Indonesia menekankan agar China melakukan pembatasan ekspor secara sukarela (voluntary export restriction) untuk produk yang memiliki kesamaan dengan produk-produk di Indonesia, seperti garmen, alas kaki, dan produk-produk lain yang berbasis tenaga kerja intensif.  

Lily juga menganggap pemanfaatan Perjanjian Perdagangan Bebas Asean China (ACFTA) dan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) secara optimal sebagai suatu hal yang penting untuk dilakukan. Sedangkan keanggotaan dalam BRICS menurutnya dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih strategis. 

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, yang juga bertindak sebagai pembicara dalam seminar di atas, mengatakan bahwa saat ini telah terjadi pergeseran dalam perbandingan antara berbisnis dengan AS dan dengan China.

“Berbisnis dengan China sekarang makin mudah daripada berbisnis dengan AS,” tuturnya. 

Senada dengan Johanes, Wijayanto menilai bahwa dalam konstalasi geopolitik yang berkembang, Indonesia akan selalu berada di tengah.

Namun ia juga menekankan bahwa meskipun berada di tengah, Indonesia akan lebih condong kepada China, karena dalam pandangannya, berbisnis dengan China saat ini cenderung lebih mudah. “Pada saat yang sama, kepercayaan (trust) kepada China pun makin meningkat,” katanya.. 

Seminar yang digelar di kampus Pasca Sarjana Universitas Paramadina ini dibuka dengan pernyataan pembuka oleh Achmad Khoirul Umam, Managing Director dari Paramadina Public Policy Institute.

Diskusi dalam seminar dipandu oleh moderator Dosen Hubungan Internasional President University Mohammad Farid. 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan