Senin, 29 September 2025

Krisis Iklim Makin Nyata, Pimpinan MPR Berharap Ada Badan Ekonomi Karbon

Salju abadi Cartenz nyaris lenyap, udara Jakarta masuk 3 besar terburuk dunia. Wakil Ketua MPR RI peringatkan: Indonesia butuh aksi nyata

Penulis: Reza Deni
Dailymail
Puncak Jaya atau Carstensz Pyramid, di Papua, Indonesia. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno memperingatkan bahwa Indonesia sedang menghadapi ancaman serius krisis iklim yang tak bisa lagi disikapi dengan pendekatan biasa.

Dalam forum Indonesia Net Zero Summit 2025 yang digelar di Djakarta Theater, Jakarta, Minggu (27/7/2025), Eddy menekankan perlunya kesadaran kolektif dan reformasi kebijakan lintas sektor untuk mencegah dampak lebih parah perubahan iklim di Indonesia.

“Saat ini yang kita hadapi bukan sekadar perubahan iklim, tapi sudah menjadi ancaman krisis iklim,” kata Eddy dalam keterangan tertulis.

Ia mencontohkan, dalam tiga tahun terakhir, kualitas udara Jakarta terus memburuk hingga masuk peringkat tiga besar kota dengan polusi terburuk di dunia. Di Papua, salju abadi di Puncak Cartenz kini tersisa hanya 5 persen dibandingkan lima dekade lalu.

“Ini indikasi berbahaya yang tidak bisa kita abaikan,” tegasnya.

Eddy menyampaikan bahwa kompleksitas tata kelola ekonomi karbon di Indonesia saat ini masih menghadapi hambatan koordinasi antar-lembaga. Ia mendorong pembentukan Badan Ekonomi Karbon dan Penanganan Krisis Iklim yang akan bertugas mengintegrasikan kebijakan lintas kementerian secara lebih efektif.

“Perlu ada integrator yang memangkas jalur birokrasi dan prosedural di masing-masing Kementerian dan Lembaga,” ucapnya.

Badan ini dinilai mendesak agar Indonesia dapat menyelaraskan langkah menuju transisi energi rendah emisi yang terintegrasi dan tidak berjalan sektoral.

RUPTL 2025–2034: Energi Bersih dan Lapangan Kerja Baru

Merujuk pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034, Eddy menjelaskan bahwa sebanyak 69,5 gigawatt (GW) kapasitas pembangkit baru akan ditambahkan. Dari jumlah itu, 43 GW akan berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT).

Ia juga mengungkapkan bahwa rencana tersebut mencakup pengembangan 0,5 GW modular nuclear energy yang bersih dan stabil sebagai bagian dari upaya penyediaan energi hijau.

Baca juga: Gibran Balas Nyinyiran ‘Bangun Istana di Tengah Hutan’: IKN Justru Reforestasi

Menurutnya, transisi energi tak hanya menyelamatkan lingkungan, tapi juga membuka peluang ekonomi. Sektor EBT, kendaraan listrik, baterai, hingga bioenergi diproyeksikan menciptakan 1,7 juta lapangan kerja baru hingga 2034.

“Kami mendorong kebijakan fiskal dan investasi menyasar sektor-sektor pendukung ekonomi hijau, termasuk riset energi bersih dan kawasan industri rendah karbon,” ujar Eddy.

Indonesia Bisa Kehilangan Peluang Jika Lambat Bertransformasi

Eddy memperingatkan bahwa jika Indonesia tidak segera bertransformasi, negara ini akan tertinggal dari pesaing regional. Ia menyinggung kegagalan menarik investor karena keterbatasan pasokan energi hijau, yang menyebabkan mereka lebih memilih negara seperti Vietnam, Laos, atau Kamboja.

Bahkan, lanjutnya, ekspor Indonesia terancam terkena pajak karbon atau ditolak jika tak memenuhi standar emisi negara tujuan.

“Energy transition is a must dan kita tidak bisa menghindarinya. Kalau kita ingin tetap kompetitif di panggung global, kita harus konsekuen untuk bertransformasi sekarang—bukan nanti,” tandas Eddy.


 
 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan