Dr Arimansyah: Masih Ada Kesenjangan dalam Pelindungan Merek Non-Use di Indonesia
Pengaturan pelindungan merek terkenal yang tidak digunakan di Indonesia masih menyisakan berbagai kesenjangan
Penulis:
Eko Sutriyanto
Editor:
Erik S
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN – Pengaturan pelindungan merek terkenal yang tidak digunakan (non-use) di Indonesia dinilai masih menyisakan berbagai kesenjangan antara idealisme hukum dan implementasi di lapangan.
Hal itu disampaikan Dr Arimansyah, pakar hukum merek, dalam acara bedah buku yang bertajuk Hukum Pelindungan Merek Terkenal Pada Barang/Jasa Yang Tidak Digunakan (Non-Use) Perspektif Kepastian Hukum dan Keadilan Dalam Kerangka Hukum Nasional yang digelar di Medan, Jumat (25/7/2025).
Menurut Arimansyah, hingga kini Indonesia belum sepenuhnya mampu mengadopsi prinsip perlindungan merek non-use sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (3) TRIPs Agreement, khususnya dalam konteks perlindungan terhadap barang atau jasa yang tidak sejenis namun memiliki keterkaitan dengan merek terkenal.
Baca juga: Bedah Buku Margono Djojohadikusumo: Jejak Pendiri BNI dalam Ekonomi RI
“Masih terdapat kesenjangan dan ketidaksesuaian antara pengaturan yang ideal dan realitas yang terjadi di lapangan. Aturan yang kita miliki, termasuk UU Merek Nomor 20 Tahun 2016, belum sepenuhnya memberi kepastian dan keadilan bagi pemilik merek terkenal,” ujar Arimansyah dalam paparannya.
Ia menyoroti belum adanya rumusan komprehensif dalam perlindungan merek terkenal non-use yang berdampak pada praktik hukum di tingkat pemeriksa merek hingga hakim.
Inkonsistensi dalam putusan dan subjektivitas tafsir menjadi masalah yang kerap muncul karena lemahnya struktur dan substansi hukum yang ada.
“Dari sisi budaya hukum juga masih menjadi tantangan. Kita melihat kecenderungan masyarakat yang mencari jalan pintas, sehingga praktik seperti passing off, trademark squatting, hingga dilusi merek masih sering terjadi,” jelasnya.
Perlunya Kriteria Khusus untuk Merek Non-Use
Sebagai solusi, Arimansyah mengusulkan agar Indonesia mengatur kriteria dan batasan yang jelas terhadap perlindungan merek terkenal yang tidak digunakan, termasuk memperhatikan aspek orisinalitas seperti coined atau invented words yang tidak mengandung arti umum, agar tidak menghambat pihak lain yang beriktikad baik.
Pandangan ini turut diamini oleh Prof. Dr. OK Saidin, Ketua Komisi Banding Merek Kementerian Hukum RI, yang hadir dalam acara tersebut.
Menurutnya, penting untuk membatasi perlindungan hanya pada merek-merek yang memang memenuhi kriteria khusus tersebut, agar tidak membatasi hak pihak lain secara tidak proporsional.
Baca juga: Pakar Hukum Dorong Pembaruan Regulasi Terkait Merek Non-Use
“Merek dari kata-kata ciptaan sendiri yang tidak bermakna harusnya mendapatkan perlindungan khusus. Tapi kita juga harus pastikan bahwa perlindungan itu tidak menutup akses bagi pelaku usaha lain yang ingin menggunakan nama serupa pada barang/jasa berbeda dan tidak menyesatkan,” ujar Prof. OK Saidin.
CEO Indonesia Airlines, Iskandar Ismail, juga menyoroti lemahnya pelindungan merek di Indonesia berdasarkan pengalamannya langsung di dunia usaha.
Ia menyebut prinsip first to file dalam sistem hukum merek saat ini rawan disalahgunakan.
“Sudah ada pihak yang mendaftarkan nama Indonesia Airlines sebelum kami dan bahkan membeli nama domainnya. Lalu ditawarkan kembali ke kami dengan harga tinggi,” ungkap Iskandar.
Tingkatkan Daya Saing UMKM, Pertamina Fasilitasi Sertifikasi Halal dan HaKI |
![]() |
---|
Ilyas Indra Ungkap Potensi Indonesia jadi Pasar ke-4 Terbesar di Dunia |
![]() |
---|
Daya Juang dan Pendidikan Jadi Kunci Upaya Perempuan untuk Ambil Peran dalam Era Digital |
![]() |
---|
DJKI Kementerian Hukum Sebut Pendaftaran Merek untuk Melindungi Kekayaan Intelektual |
![]() |
---|
Melly Goeslaw Dorong Pembaruan UU HKI untuk Lindungi Insan Kreatif di Era Digital |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.