RUU KUHAP
KPK Sampaikan 17 Poin Kritis RKUHAP, Komisi III DPR Bantah Upaya Lemahkan KPK
Habiburokhman juga menanggapi berbagai kritik dan kekhawatiran publik yang menilai RUU KUHAP berpotensi menggerus kewenangan KPK.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menanggapi pernyataan KPK lewat Juru Bicara Budi Prasetyo yang menyampaikan 17 catatan kritis terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Habiburokhman menegaskan pembahasan RUU KUHAP tidak akan dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Dia memastikan Komisi III DPR akan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta aktivis antikorupsi dalam pembahasan lanjutan pada masa persidangan mendatang.
"Dalam penyusunan RUU KUHAP ini, kami berikhtiar menyerap aspirasi semua pihak semaksimal mungkin, termasuk dari KPK," ujar Habiburokhman kepada wartawan, Kamis (24/7/2025).
Habiburokhman menambahkan DPR berkomitmen untuk membuka ruang dialog dan konsultasi bersama pihak-pihak yang memiliki perhatian terhadap isu pemberantasan korupsi.
"Tentu saja kami tidak ingin RUU KUHAP melemahkan pemberantasan korupsi," ujarnya.
Habiburokhman juga menanggapi berbagai kritik dan kekhawatiran publik yang menilai RUU KUHAP berpotensi menggerus kewenangan KPK.
Dia menyebut bahwa hal tersebut tidak benar, dan justru terdapat sejumlah pasal yang mempertegas posisi KPK sebagai lembaga independen.
"Yang pertama, tidak benar bahwa KUHAP menghilangkan sifat lex specialis UU Tipikor dan UU KPK. RUU KUHAP justru memperkuat posisi KPK," ujarnya.
"Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (2) RUU KUHAP yang menyebutkan bahwa ketentuan dalam undang-undang ini dimaksudkan untuk melaksanakan tata cara peradilan pidana terhadap seluruh tindak pidana, kecuali diatur lain dalam undang-undang. Sehingga KPK dapat bekerja sesuai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi," imbuhnya.
Ia juga menyoroti Pasal 7 ayat (5) dalam RUU tersebut yang secara tegas memberikan pengecualian terhadap penyidik KPK dari pengawasan Polri.
"Selain itu, dalam Pasal 7 ayat (5) RUU KUHAP secara eksplisit menyebutkan bahwa penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi dikecualikan dari koordinasi dan pengawasan oleh penyidik Polri," tambah Habiburokhman.
Terkait tudingan bahwa RUU KUHAP tidak mengakomodasi peran penyidik dan penyelidik di luar Polri, ia menepis anggapan tersebut.
"Yang kedua, tidak benar bahwa penyidik dan penyelidik KPK tidak diakomodir. Berdasarkan hasil kesepakatan Panja, dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Jadi tidak benar kalau penyidik hanya dari Polri," ujarnya.
Selain itu, kritik mengenai sempitnya definisi penyelidikan juga ia bantah.
"Yang ketiga, tidak benar bahwa definisi penyidikan terlalu sempit. Definisi penyelidikan konsisten dengan pendekatan formil dan tidak menghalangi pengumpulan informasi awal oleh institusi seperti KPK," tandasnya.
Sebelumnya, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan pihaknya telah mengidentifikasi 17 poin krusial yang dinilai tidak sinkron dan berpotensi mengebiri kewenangan khusus yang dimiliki KPK dalam memberantas korupsi.
"Dalam perkembangan diskusi di internal KPK, setidaknya ada 17 poin yang menjadi catatan dan ini masih terus kami diskusikan," kata Budi dalam keterangannya, Kamis (17/7/2025).
Kekhawatiran utama KPK berpusat pada potensi degradasi status hukum UU KPK sebagai lex specialis yang seharusnya mengesampingkan hukum acara umum.
Menurut KPK, RUU KUHAP memuat pasal-pasal yang dapat meniadakan kekhususan tersebut, sehingga mengancam efektivitas kerja KPK mulai dari tahap penyelidikan hingga penuntutan.
Berikut adalah daftar 17 poin catatan kritis KPK terhadap RUU KUHAP:
1. Ancaman terhadap Asas Lex Specialis
Kewenangan khusus penyelidik dan penyidik KPK yang dijamin UU KPK dan putusan MK berpotensi dianggap bertentangan dengan RKUHAP karena adanya norma "...sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini".
2. Keberlanjutan Penanganan Perkara
Pasal peralihan RKUHAP dapat memaksa penanganan perkara korupsi oleh KPK hanya berpedoman pada KUHAP, mengabaikan hukum acara khusus dalam UU Tipikor dan UU KPK.
3. Penyelidik KPK Tidak Diakomodir
RKUHAP menyebut penyelidik hanya berasal dari Polri, menafikan kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidiknya sendiri.
4. Penyempitan Definisi Penyelidikan
RKUHAP membatasi penyelidikan hanya untuk "mencari peristiwa pidana", padahal penyelidikan KPK sudah sampai pada tahap menemukan minimal dua alat bukti.
5. Devaluasi Keterangan Saksi di Tahap Awal
RKUHAP hanya mengakui keterangan saksi yang diperoleh di tahap penyidikan ke atas, padahal KPK sudah mengumpulkan alat bukti, termasuk keterangan saksi, sejak penyelidikan.
8. Birokrasi Baru Penyerahan Berkas
RKUHAP mengindikasikan penyerahan berkas perkara harus melalui penyidik Polri, bertentangan dengan UU KPK yang mengatur pelimpahan langsung dari penyidik KPK ke penuntut umum KPK.
9. Pembatasan Wewenang Penggeledahan
RKUHAP membatasi penggeledahan hanya pada tersangka dan mewajibkan pendampingan penyidik Polri dari yurisdiksi setempat, menggerus wilayah hukum penyidik KPK yang bersifat nasional.
10. Izin Penyitaan dari Pengadilan
RKUHAP mewajibkan izin Ketua Pengadilan Negeri untuk penyitaan, bertentangan dengan praktik KPK yang hanya perlu memberitahukan kepada Dewan Pengawas.
11. Izin Penyadapan dari Pengadilan
RKUHAP mensyaratkan izin Ketua PN untuk penyadapan dan hanya boleh dilakukan saat penyidikan. Ini menghapus kewenangan KPK menyadap sejak penyelidikan tanpa izin pengadilan.
12. Pembatasan Pencegahan ke Luar Negeri
RKUHAP membatasi larangan bepergian ke luar negeri hanya untuk tersangka, padahal KPK seringkali perlu mencegah saksi atau pihak terkait lainnya.
13. Proses Praperadilan Menghambat Sidang Pokok Perkara
RKUHAP mengatur pokok perkara korupsi tidak dapat disidangkan selama proses praperadilan berlangsung, bertentangan dengan asas peradilan cepat dan sederhana.
14. Kewenangan Perkara Koneksitas Tak Diakomodir
Kewenangan KPK untuk mengoordinasikan dan mengendalikan perkara koneksitas (melibatkan sipil dan militer) yang telah dikuatkan putusan MK tidak diatur dalam RKUHAP.
15. Monopoli Perlindungan Saksi oleh LPSK
RKUHAP seolah menyerahkan perlindungan saksi hanya kepada LPSK, mengabaikan kewajiban dan hak KPK untuk melindungi saksi dan pelapornya sendiri.
16. Penuntutan Lintas Wilayah Dihambat
RKUHAP mewajibkan penuntut umum mendapat surat pengangkatan sementara dari Jaksa Agung untuk menuntut di luar daerah hukumnya, bertentangan dengan wewenang penuntut KPK yang berlaku di seluruh Indonesia.
17. Ambiguitas Status Penuntut Umum KPK
Definisi Penuntut Umum dalam RKUHAP dinilai berpotensi tidak secara eksplisit mengakui penuntut yang diangkat oleh KPK.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.