Selasa, 30 September 2025

Tanggapi Pernyataan Menkes, Dicky Budiman: Dokter Waspada AI Bukan Berarti Anti Inovasi

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut dokter yang memusuhi AI akan terbelakang atau tertinggal dari kemajuan teknologi.

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
dok pribadi
Ahli Epidemiologi Indonesia dan Peneliti Pandemi dari Griffith University, Dicky Budiman. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Munculnya berbagai inovasi berbasis kecerdasan buatan (AI) dalam bidang kesehatan menuai beragam respons. 

Tidak sedikit kalangan medis yang menyambutnya dengan antusias, namun tak jarang pula yang bersikap hati-hati. 

Baru-baru ini Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dapat menjadi pendamping penting bagi dokter dalam melakukan tindakan medis, termasuk operasi bedah.

Ia juga menyebut dokter yang memusuhi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) akan terbelakang atau tertinggal dari kemajuan teknologi.

Baca juga:  Menteri Kesehatan: Skrining Kesehatan Gratis Direncanakan Mulai Februari 2025

Ahli Kesehatan Global dan Sistem Rumah Sakit, sekaligus Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, menanggapi pernyataan tersebut. 

Dicky mengatakan bahwa tidak adil jika pihak yang menyuarakan kehati-hatian dianggap menolak kemajuan. 

Ia menekankan pentingnya membangun narasi yang tidak menyederhanakan tantangan implementasi AI.

“Karena sekali lagi AI ini juga banyak tantangannya ya dalam pengembangan maupun apalagi implementasinya. Dan banyak dokter yang bukan sebetulnya memusuhi AI tapi mereka menuntut kehati-hatian, transparansi, dan etika dalam implementasinya," ungkap Dicky pada keterangan, Kamis (17/7/2025).

"Jadi ini saya kira ya wajar dan ini adalah sikap ilmiah dan profesional,” imbuh Dicky. 

Dicky menyampaikan bahwa AI memiliki potensi besar untuk membantu dunia kedokteran.

Seperti dalam bidang pembedahan yang menggunakan robot berteknologi AI, sebagaimana telah diterapkan di rumah sakit-rumah sakit modern di China. 

Namun, ia menegaskan bahwa peran utama tetap harus dipegang oleh dokter manusia.

“Jadi semua itu adalah bentuk argumentasi atau peningkatan kemampuan manusia, tapi bukan substitusi. Jadi dokter tetap menjadi pengambil keputusan utama dalam konteks itu,” tegasnya.

Ia juga menyoroti isu regulasi yang harus segera disiapkan. 

Pemerintah, menurutnya, perlu mempercepat lahirnya kebijakan dan standar yang mengatur penggunaan AI dalam praktik klinis. 

Ini termasuk sertifikasi algoritma, audit berkala, hingga perlindungan data pribadi pasien.

“AI ini juga perlu regulasi dan governance yang memadai, yang cukup, yang antara lain mengatur tentang standarisasi penggunaan AI dalam klinik dan rumah sakit oleh lembaga kredibel, apa itu Kementerian Kesehatan dengan KKII ataupun lembaga independen lain,” tuturnya.

Dicky menekankan bahwa kritik terhadap AI bukan berarti anti-perubahan, tetapi merupakan bentuk kewaspadaan profesional demi menjaga kualitas dan keselamatan pasien. 

Ia pun mengajak semua pihak untuk membangun budaya yang terbuka terhadap kritik konstruktif.

“Karena kritik konstruktif ini justru penting untuk menjaga keselamatan pasien, khususnya di dunia kesehatan kan kita keselamatan pasien harus jadi yang utama. Mau itu AI, mau itu manusia, atau apapun,” ujarnya.

Dengan pendekatan yang hati-hati namun terbuka terhadap inovasi, Dicky optimistis bahwa AI dapat menjadi mitra strategis yang memperkuat sistem kesehatan tanpa menghilangkan sisi kemanusiaan profesi dokter.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved