Pernikahan Dini Bukan Solusi Ekonomi, Psikolog: Justru Jatuhkan Masa Depan Anak
Tak sedikit orang tua menikahkan anaknya di usia remaja, karena menganggap hal tersebut sebagai jalan keluar dari kemiskinan.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktik pernikahan dini masih marak terjadi di berbagai wilayah Indonesia, kerap dipicu oleh alasan ekonomi, tekanan sosial, hingga dalih tradisi.
Tak sedikit orang tua menikahkan anaknya di usia remaja karena menganggap hal tersebut sebagai jalan keluar dari kemiskinan atau demi menjaga nama baik keluarga.
Namun, menurut menurut psikolog psikoterapis dan keluarga, Anna Surti Ariani S.Psi.M.Si, pendekatan semacam itu justru berisiko besar menghancurkan masa depan anak.
Baik dari sisi pendidikan, ekonomi, hingga kesejahteraan mental.
Baca juga: Angka Putus Sekolah Jenjang SMA Mencapai 20 Persen, Penyebabnya karena Pernikahan Dini
“Pernikahan dini tidak meningkatkan perekonomian, tapi justru menjatuhkan dalam jangka panjang,” ungkap Anna pada talkshow kesehatan, Selasa (15/7/2025).
Untuk mengubah pandangan ini, edukasi masyarakat menjadi langkah utama yang harus dilakukan secara masif dan strategis.
Namun, edukasi tidak bisa hanya berupa larangan, seperti ‘jangan nikah muda’.
Perlu pendekatan yang empatik dan relevan dengan nilai yang diyakini oleh masyarakat.
“Kami percaya Bapak Ibu itu ingin anaknya bahagia dan punya masa depan yang baik. Dan justru, pendidikan yang baik dan dukungan yang tepat akan membawa anak ke kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik,” jelasnya.
Menurut Anna, pesan edukatif seperti ini bisa membantu orang tua menyadari bahwa menunda pernikahan dan memberi kesempatan pendidikan adalah investasi jangka panjang, bukan pengabaian terhadap tradisi atau nilai budaya.
Menggandeng Tokoh Masyarakat dan Agama
Strategi edukasi tidak cukup hanya dari lembaga kesehatan atau pendidikan.
Perlu menggandeng tokoh-tokoh berpengaruh di lingkungan masyarakat.
Tokoh adat, tokoh agama, hingga tokoh masyarakat yang dihormati memiliki kekuatan besar untuk mengubah pandangan warga.
“Menurut data Save the Children, intervensi yang melibatkan tokoh agama dan adat berhasil menurunkan angka pernikahan anak di beberapa negara Asia dan Afrika,” ujar Anna.
Pesan-pesan yang disampaikan pun penting untuk selaras dengan nilai spiritual dan budaya.
Misalnya, bahwa tidak ada ajaran agama yang mewajibkan anak menikah sebelum siap, dan bahwa menjaga anak tetap sekolah adalah bagian dari ibadah serta tanggung jawab moral.
Selain itu, peran guru-guru terutama di tingkat SMP dan SMA juga sangat penting.
Guru bisa menjadi pihak yang mendampingi dan membuka percakapan dengan siswa yang ingin menikah muda, bukan sekadar melarang.
Dengan komunikasi yang baik, guru dapat menyampaikan kekhawatiran dan alasan pentingnya menyelesaikan pendidikan terlebih dahulu.
Pendidikan Adalah Investasi, Bukan Beban
Anna mengingatkan bahwa pemikiran menikah dini sebagai solusi atas kesulitan ekonomi jangka pendek sangat keliru.
Faktanya, menurut data dari World Bank, setiap tambahan satu tahun pendidikan bagi anak perempuan dapat meningkatkan penghasilannya sebesar 10–20 persen di masa depan.
“Jadi mendingan menunda pernikahan untuk menyelesaikan pendidikan, supaya secara ekonomi, sosial, dan keluarga, semuanya jadi jauh lebih baik,” tegasnya.
Namun tantangannya tidak hanya dari orang tua.
Tak sedikit remaja yang justru bersikeras ingin menikah muda karena merasa sedang jatuh cinta.
Lebih lanjut Ia mengajak para remaja untuk berproses menjadi individu yang utuh terlebih dahulu, sebelum mengambil keputusan sebesar pernikahan.
Sebab menikah bukan sekadar tinggal bersama, tapi tentang kesiapan menghadapi badai kehidupan bersama pasangan.
“Sebelum bilang ‘aku siap nikah’, tanya dulu, ‘aku sudah siap belum menghadapi hidup?’,” tambahnya.
Ia pun mendorong anak muda untuk bermimpi besar, berkarya, dan meraih pencapaian pribadi terlebih dahulu.
Dengan demikian, ketika waktunya tiba, mereka akan lebih siap memilih pasangan yang bukan hanya menjadi pendamping hidup, tetapi juga mitra sejati dalam membangun masa depan.
EQ, Faktor Penting yang Tak Terlihat di Rapor tapi Menentukan Masa Depan |
![]() |
---|
Kenapa Orang Sekarang Gampang Baper? Ada Luka Lama yang Belum Sembuh |
![]() |
---|
Cara Mengasah Potensi Anak dengan Down Syndrome: Hindari Stigma, Beri Ruang Ekspresi |
![]() |
---|
Pernikahan Anak di Bojonegoro Marak, Bocah Usia 12 Tahun Ngotot Menikah Ditolak Pengadilan Agama |
![]() |
---|
Angka Kawin Anak Terus Menurun, Kemenag Genjot Peran Fasilitator Bimbingan Remaja |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.