Senin, 29 September 2025

RUU KUHAP

Juru Bicara KPK Kritik Pembatasan Kewenangan Penyadapan dalam RUU KUHAP

Ketentuan ini bertentangan dengan praktik di KPK, di mana penyadapan dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan tanpa memerlukan izin pengadilan.

Istimewa
REVISI KUHAP - Gedung Merah Putih, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kuningan, Jakarta Selatan. KPK mengungkap dua poin krusial dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang KPK, yaitu terkait kewenangan penyadapan dan penyelidikan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dua poin krusial dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang KPK, yaitu terkait kewenangan penyadapan dan penyelidikan.

Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa RUU KUHAP membatasi kewenangan penyadapan hanya pada tahap penyidikan dan mewajibkan adanya izin dari pengadilan.

Baca juga: RUU KUHAP Dikebut, Habiburokhman Tolak Temui Pendemo di Gerbang DPR

Ketentuan ini bertentangan dengan praktik di KPK, di mana penyadapan dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan tanpa memerlukan izin pengadilan, cukup dilaporkan kepada Dewan Pengawas (Dewas).

“Dalam RUU KUHAP disebutkan penyadapan baru bisa dilakukan pada saat penyidikan dan harus dengan izin pengadilan daerah setempat. Sementara di (UU) KPK, penyadapan bisa dimulai sejak penyelidikan dan cukup dilaporkan ke Dewas,” kata Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (14/7/2025).

Baca juga: RDPU di Komisi III DPR, PBB Sampaikan Tujuh Usulan Terkait RUU KUHAP

Menurut Budi, praktik penyadapan KPK telah melalui audit berkala dan terbukti efektif mendukung penanganan perkara korupsi yang kompleks.

Selain penyadapan, KPK juga menyoroti pasal terkait tugas penyelidik dalam RUU KUHAP

Dalam rancangan tersebut, penyelidik hanya bertugas menemukan unsur peristiwa pidana. 

Padahal, menurut UU KPK, penyelidik memiliki kewenangan hingga menemukan setidaknya dua alat bukti yang cukup untuk menaikkan perkara ke tahap penyidikan.

“Penyelidik di KPK tidak hanya menemukan peristiwa pidana, tetapi juga harus menemukan minimal dua alat bukti. Ini berbeda dengan RUU KUHAP yang membatasi peran penyelidik hanya pada tahap awal,” ujar Budi.

KPK saat ini masih mengkaji sejumlah pasal lain dalam RUU KUHAP yang dianggap tidak sinkron dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 juncto UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK

Hasil kajian tersebut akan disampaikan kepada DPR sebagai masukan dalam proses legislasi.

Baca juga: RDPU di Komisi III DPR, PBB Sampaikan Tujuh Usulan Terkait RUU KUHAP

Sebelumnya, KPK telah menggelar focus group discussion (FGD) bersama para pakar hukum yang juga menegaskan pentingnya pendekatan lex specialis dalam penanganan tindak pidana korupsi.

“Korupsi adalah kejahatan luar biasa, dan penanganannya pun harus dengan aturan khusus. Kewenangan KPK sudah ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi,” sebut Budi.

Komisi III DPR menyatakan bahwa proses revisi RUU KUHAP masih terbuka terhadap masukan publik hingga disahkan di rapat paripurna.

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan