PPN 12 Persen
Celios Nilai Kenaikan PPN 12 Persen Bebani Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Media Wahyudi Askar menilai kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen berpotensi memperlemah daya beli masyarakat.
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar menilai kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen berpotensi memperlemah daya beli masyarakat dan justru membebani kelompok berpenghasilan rendah.
Dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Wahyudi yang dihadirkan sebagai ahli mengatakan ihwal sistem perpajakan yang kompleks berisiko menurunkan tingkat kepatuhan pajak.
Apalagi jika membuka ruang tafsir beragam seperti dalam Pasal 16B Undang-Undang PPN.
“Pajak PPN dan pajak konsumsi itu dikenakan untuk semua orang. Di dalam ekonomi itu regresif,” ujarnya dalam sidang yang digelar, Rabu (9/7/2025).
Menurut Wahyudi, prinsip perpajakan yang baik harus sederhana dan menjamin kepatuhan, bukan justru membebani kelompok miskin.
Ia menekankan bahwa PPN dibayarkan oleh semua kalangan tanpa memandang tingkat penghasilan.
“Dalam banyak studi, disebutkan bahwa PPN justru membebani kelompok masyarakat miskin lebih besar secara proporsional dibandingkan kelompok kaya,” tambahnya.
Senada, Direktur Celios lainnya, Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebutkan kenaikan PPN hanya akan memperlemah daya beli masyarakat.
Menurut perhitungannya, kelompok masyarakat miskin harus menanggung beban tambahan hingga Rp1,22 juta per tahun akibat kenaikan tarif tersebut.
Ia merujuk pada data ekonomi nasional yang menunjukkan lemahnya permintaan domestik, seperti pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 yang hanya mencapai 4,87 persen.
Serta penurunan simpanan perorangan di bank sebesar -1,8 persen pada Februari dan -3,4 persen pada Januari 2025.
Bhima juga menyoroti bahwa kenaikan tarif PPN tidak serta-merta meningkatkan penerimaan negara.
Berdasarkan data APBN Kita Juni 2025, realisasi penerimaan pajak justru turun sebesar 10,14 persen secara tahunan.
Ia juga menilai persoalan utama perpajakan di Indonesia terletak pada rendahnya kepatuhan dan lemahnya penegakan hukum.
“Tanpa reformasi administrasi perpajakan, peningkatan tarif justru mendorong praktik ekonomi bawah tanah yang merugikan negara,” pungkas Bhima.
Sebagai informasi, permohonan uji materi ini menyoroti sejumlah pasal dalam UU HPP, khususnya terkait pengenaan dan tarif PPN.
Para pemohon menilai ketentuan dalam Pasal 4A dan Pasal 7 UU HPP menghapus pengecualian PPN untuk barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, serta angkutan umum.
Selain itu, mereka keberatan atas kenaikan tarif PPN hingga 12 persen yang dinilai membebani masyarakat, terutama di tengah pendapatan yang stagnan.
Menurut para pemohon, kebijakan ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan perlindungan sosial dalam UUD 1945.
Baca juga: Dirjen Pajak: Kenaikan PPN 12 Persen Tak Berdampak pada Barang Kebutuhan Pokok
Mereka meminta MK membatalkan pasal-pasal tersebut atau setidaknya menetapkan tarif PPN hanya boleh diubah lewat undang-undang dan berdasarkan indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan yang jelas.
PPN 12 Persen
Terlanjur Dipungut PPN 12 Persen, DJP: Tunjukkan Struk ke Penjual untuk Minta Kelebihan Bayar |
---|
Terlanjur Kena PPN 12 Persen, Ditjen Pajak Terbitkan Aturan Baru, Pembeli Bisa Minta Kelebihannya |
---|
Ada Peraturan PPN 12 Persen, Platform Pertukaran Kripto Lakukan Penyesuaian Transaksi Beli |
---|
Kadin Indonesia Sebut Kenaikan PPN 12 Persen untuk Barang dan Jasa Mewah : Industri Lebih Kompetitif |
---|
Kenaikan PPN untuk Barang Mewah Tak akan Berdampak Signifikan Pada Pertumbuhan Ekonomi |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.