Minggu, 5 Oktober 2025

Kasus Korupsi Pengadaan EDC

Duduk Perkara Korupsi Mesin EDC Bank BUMN: Duit Rakyat Rp744 M Raib Lewat Rekayasa Lelang

KPK mengungkap borok pengadaan mesin EDC di bank pelat merah: vendor ditunjuk sebelum lelang, harga diatur, hingga pejabat diberi gratifikasi sepeda m

Penulis: Abdul Qodir
Kolase Tribunnews
KORUPSI MESIN EDC - Kolase Dirut PT Allo Bank Indra Utoyo sewaktu menjabat Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi Bank BUMN periode 2017-2022, dan barang bukti uang hasil sitaan terkait kasus dugaan korupsi pengadaan mesin electronic data capture (EDC) pada bank BUMN tahun 2020–2024, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (9/7/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk, Indra Utoyo, sebagai salah satu tersangka atas kasus dugaan korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di bank pelat merah periode 2020–2024 atau sewaktu dirinya menjabat Direktur Digital dan teknologi Informasi bank tersebut.

Indra tidak sendiri. Ia ditetapkan bersama empat orang lainnya, termasuk eks Wakil Direktur Utama bank pelat merah, Catur Budi Harto.

Skandal ini diperkirakan merugikan keuangan negara hingga Rp744,5 miliar, dengan modus rekayasa dalam pengadaan EDC melalui dua skema: beli putus dan sewa jangka panjang.

“Mereka diduga memperkaya diri sendiri, orang lain ataupun korporasi dalam pengadaan EDC, dengan kerugian negara sekurangnya Rp744,5 miliar,” kata Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Rabu (9/7/2025).

Lalu, bagaimana duduk perkara maupun modus korupsi mesin EDC bank BUMN tersebut terjadi?

Baca juga: BREAKING NEWS: KPK Tetapkan Dirut Allo Bank Tersangka Korupsi Mesin EDC Rp744 M

Rekayasa Sejak Awal: Vendor Dipilih Sebelum Lelang

Modus korupsi dalam pengadaan mesin EDC di bank pelat merah ini tidak terjadi secara tiba-tiba.

KPK mengungkap bahwa praktik curang ini sudah dirancang sejak tahap perencanaan pada tahun 2019, bahkan sebelum proses lelang dimulai.

Dua skema pengadaan yang disorot adalah:

  • EDC Android (beli putus) senilai Rp942,79 miliar untuk 346.838 unit
  • Full Managed Service (FMS) EDC Single Acquirer (sewa) senilai Rp1,25 triliun untuk 200.067 unit selama 2021–2024

Dua vendor utama ditunjuk sejak awal:

  • PT Pasifik Cipta Solusi (PCS), Direktur Utama: Elvizar
  • PT Bringin Inti Teknologi (BRI IT), membawa merek Verifone, Direktur Utama: Rudy Suprayudi Kartadidjaja

Baca juga: Sosok Indra Utoyo, Dirut Allo Bank Jadi Tersangka Kasus Korupsi Mesin EDC Rp744 M

KPK menyebut Indra Utoyo, saat itu Direktur Digital dan TI bank pelat merah, sebagai pihak yang menandatangani seluruh dokumen strategis:

  • Izin prinsip penggunaan anggaran pengadaan EDC (2020–2021)
  • Izin pelaksanaan pengadaan (2020)
  • Putusan hasil pengadaan (2020–2021)

Indra juga mendorong agar pengadaan beralih dari sistem konvensional menjadi EDC full Android, dan memerintahkan dua bawahannya, Danar Widyantoro dan Fajar Ujian, agar dua merek—Sunmi dan Verifone—diuji lebih dulu melalui proses Proof of Concept (POC).

Namun, hanya dua vendor itu yang diuji, sementara merek lain seperti Nira, Pax, dan Ingenico tak diberi kesempatan. Proses POC juga tidak diumumkan terbuka, menyalahi prinsip keterbukaan dan persaingan sehat.

“Proses POC hanya dilakukan untuk dua merek tertentu, padahal ada vendor lain. Ini menyalahi prinsip keterbukaan,” ujar Asep Guntur.

Lebih lanjut, dokumen Term of Reference (TOR) ikut direvisi.

Atas permintaan Elvizar, Catur Budi Harto meminta Dedi Sunardi (pejabat pengadaan) untuk merevisi Annex 2 TOR, dengan memasukkan batas waktu POC maksimal dua bulan. Spesifikasi teknis ini secara tidak langsung mengunci peluang vendor lain.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved