Sopir Truk Demo ODOL
Pilu Slamet Barokah Jual Truk demi Patuh Zero ODOL: Kami Taat, Tapi Negara ke Mana?
Sementara kewajiban harian tetap menanti seperti makan, sekolah anak, dan cicilan hidup yang tak bisa ditunda.
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Slamet Barokah tatapannya kosong dan kerap mengernyitkan dahi usai audiensi dengan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Aan Suhanan, di kantor Kemenhub, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Siang itu, lebih dari seratus sopir truk dari berbagai penjuru negeri berkumpul. Mereka tak datang untuk merayakan apa pun, melainkan menyuarakan jeritan yang tak kunjung terdengar dari balik kaca tebal kantor pemerintahan.
Di tengah kerumunan itu, Slamet bukan sekadar sopir biasa. Ia adalah Ketua Asosiasi Sopir Logistik Indonesia, sekaligus penyintas nyata dari dampak kebijakan Zero Over Dimension Over Loading (Zero ODOL) yang kini menjerat penghidupan ribuan sopir truk.
Sebagai sopir truk asal Banyuwangi, Slamet tahu betul bagaimana getirnya hidup di jalanan.
Tapi, sebagai Ketua Asosiasi Sopir Logistik Indonesia, ia juga memanggul beban kolektif ribuan sopir lain yang menghadapi nasib serupa.
Dan ketika tak lagi mampu mengangkut muatan karena memilih taat pada aturan Zero ODOL, Slamet terpaksa menjual satu-satunya truk miliknya.
“Saya enggak dapat orderan. Nganggur sampai dua bulan, sampai jatuh,” kata Slamet.
“Saya punya kendaraan satu, saya jual waktu itu. Dan sekarang sudah mulai bisa kembali normal.”
Baca juga: Audiensi Zero ODOL dengan Kemenhub dan Kemenko Infrastruktur Buntu, Sopir Truk Ancam Mogok Nasional
Namun, “normal” yang dimaksud Slamet tak seperti dulu. Tahun ini terasa makin berat karena orderan menurun drastis, bahkan tak jarang tak ada sama sekali.
Slamet mengaku kesulitan mendapatkan muatan, apalagi sejak banyak proyek logistik mandek usai pergantian pemerintahan dan menggencarkan efisiensi anggaran.
Sementara kewajiban harian tetap menanti seperti makan, sekolah anak, dan cicilan hidup yang tak bisa ditunda.
Duduk Perkara
Aksi damai hari itu menyasar langsung pembahasan RUU ODOL—bagian dari revisi UU LLAJ yang memperketat aturan batas dimensi dan muatan kendaraan.
Salah satu pasal yang paling disorot oleh para sopir adalah potensi kriminalisasi terhadap pelanggar, termasuk mereka yang hanya menjalankan perintah perusahaan.
“Kenapa sih mereka enggak mau cari tahu? Kenapa sampai ada kendaraan over kapasitas? Itu kan karena sistem yang memaksa,” ujar Slamet dengan nada kecewa.
Baca juga: Ada Wacana Kenaikan Tarif Ojol, Kemenhub: Belum Final
Slamet menegaskan, para sopir bukan tidak ingin patuh. Tapi beban ekonomi, tekanan tenggat waktu, dan minimnya tarif angkutan kerap memaksa mereka memilih antara melanggar aturan atau tidak makan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.