Senin, 29 September 2025

Guru Besar UIN Cirebon Minta Publik Waspadai Buku Terjemahan: Jadi Ladang Subur Lahirnya Radikalisme

Menurut Prof Didin buku-buku terjemahan bisa menjadi ladang subur lahirnya tafsir ekstrem jika tidak dikaji secara kritis.

Shutterstock/Kompas
RADIKALISME - Menurut Prof Didin buku-buku terjemahan bisa menjadi ladang subur lahirnya tafsir ekstrem jika tidak dikaji secara kritis. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kalimat-kalimatnya tampak normatif, tidak ada ajakan terang-terangan untuk berjihad atau berperang.

Namun jika dibaca lebih dalam, pesan-pesan samar itu menyusup lewat padanan kata yang ditambahkan, dikaburkan, bahkan dipelintir. 

Demikian disampaikan Guru Besar UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Prof Didin Nurul Rosidin, yang menyoroti buku-buku terjemahan yang potensi diselewengkan.

Menurut Prof Didin, hal ini bisa menjadi ladang subur lahirnya tafsir ekstrem jika tidak dikaji secara kritis.

“Inilah yang disebut dengan pembajakan makna,” kata Prof Didin, Senin(30/6/2025). 

“Ketika kita membaca buku terjemahan, sebisa mungkin kita juga punya akses kepada buku aslinya. Karena kalau kita membaca buku ini, ada titik-titik di mana penerjemahan, tanda kutip, kemudian terjadi penyelewengan,” kata Didin.

Salah satu contohnya adalah buku 'Strategi Dua Lengan' yang dalam versi terjemahannya berkembang menjadi dua kali lipat lebih tebal dari aslinya.

Penambahan itu bukan tanpa maksud, materi-materi baru yang disusupkan penuh dengan narasi kebencian, glorifikasi perang, dan glorifikasi konflik sektarian.

“Buku ini aslinya hanya setebal 100-an halaman tetapi setelah terbit dalam bahasa Indonesia menjadi 200 lebih. Itu bahan dari mana saja? Itu bahan suplemen pendukung termasuk kebencian-kebencian pada Yahudi, Syiah, kepada kelompok-kelompok lain,” kata Pengamat Timur Tengah, Hasibullah Satrawi.

Ia mengingatkan, pesan-pesan radikal tak selalu hadir dalam bentuk agitasi eksplisit.

Namun, katanya, hal itu kerap disamarkan dalam narasi heroik, dalam ajakan kembali ke zaman khulafaur rasyidin, atau dalam glorifikasi konflik seperti di Suriah dan Yaman, yang oleh sebagian pembaca diposisikan sebagai "kiblat ketiga".

“Orang-orang yang membacanya saking pentingnya ke Suriah itu seperti terlahir kiblat ketiga. Kiblat pertama Masjidil Aqsa, kiblat kedua Masjidil Haram. Kiblat ketiga titiknya ke Suriah yang sekarang disebut sebagai negara Suriah itu,” kata Hasibullah.

Upaya BNPT dalam mendiseminasikan hasil kajian ini menegaskan peran penting literasi dalam pencegahan terorisme.

Bukan hanya membendung distribusi buku-buku radikal, tetapi juga menanamkan kesadaran membaca yang kritis—agar masyarakat tidak terjebak pada teks yang tampak religius tapi sarat manipulasi makna.

“Yang penting adalah ketika membaca buku jangan sampai kita kemudian tersesat. Inilah hal penting yang harus kita pelajari bersama,” tambah Prof Didin.

Lewat program kajian semacam ini, BNPT tidak hanya hadir sebagai lembaga yang mengurusi ancaman keamanan, tetapi juga sebagai garda depan dalam membangun ketahanan narasi. Sebab pertarungan melawan radikalisme bukan lagi soal senjata, tapi soal makna.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan