Selasa, 30 September 2025

Tahun Baru Islam

Mitos Malam 1 Suro yang Dianggap Sakral Masyarakat Jawa, Lengkap dengan Sejarahnya

Malam 1 suro dianggap sebagai momen atau waktu yang sakral dalam penanggalan Jawa, berikut mitos-mitos yang dipercaya masyarakat Jawa pada malam Suro.

Istimewa
KIRAB MALAM SURO - Prosesi Kirab 1 Suro di Keraton Mangkunegaran, Selasa (18/7/2023), berikut mitos yang dipercaya saat malam 1 suro. 

TRIBUNNEWS.COM - Menjelang malam 1 Suro, sebagian masyarakat Jawa masih mempercayai mitos-mitos yang berhubungan dengan bulan Suro.

Berdasarkan penanggalan Jawa, malam 1 Suro merupakan waktu yang istimewa.

Malam 1 Suro sering dianggap sakral dan penuh hal-hal mistis.

Tanggal 1 Suro bertepatan dengan tanggal 1 Muharram, dan menurut kalender dari kemenag.go.id, tanggal 1 Suro jatuh pada 27 Juni 2025.

Menurut perhitungan Jawa, malam Suro dimulai setelah maghrib sebelum tanggal 1 Suro, yaitu pada Kamis (26/6/2025).

Biasanya pada malam 1 Suro, sejumlah masyarakat Jawa akan melaksanakan ritual khusus.

Di Keraton Solo dan Yogyakarta, biasanya akan melaksanakan jamasan pusaka hingga mengadakan kirab.

Berikut Tribunnews rangkum beberapa mitos malam 1 Suro yang masih dipercaya oleh masyarakat hingga saat ini.

Baca juga: Sinopsis Malam Satu Suro, Film Horor Suzanna sebagai Suketi dan Sudel Bolong

Mitos Malam 1 Suro

1. Tapa bisu atau tak boleh berbicara

Tapa bisu atau dalam bahasa Indonesia artinya tidak boleh berbicara.

Umumnya beberapa masyarakat Jawa mempercayai untuk melakukan ritual tapa bisu ini pada malam 1 Suro.

Mitosnya, pada saat malam 1 Suro, orang-orang akan dilarang untuk berbicara, dan akan berkeliling keraton.

Tapa Bisu adalah bagian dari tradisi malam Satu Suro.

Ritual Tapa Bisu biasanya diawali dengan lantunan tembang macapat yang terselip doa-doa serta harapan untuk satu tahun ke depan. 

2. Tak boleh keluar rumah 

Selain melakukan ritual tertentu, terdapat mitos yang masih dipercaya hingga saat ini, yaitu tidak boleh keluar rumah atau bepergian saat malam 1 Suro.

Masyarakat jawa percaya bahwa setiap malam 1 Suro lebih baik berdiam diri di rumah.

Mitos yang dipercaya, apabila melanggar aturan ini maka orang tersebut akan mendapatkan kesialan dan hal buruk.

Baca juga: Tradisi Peringatan Malam 1 Suro di Solo dan Yogyakarta, Berikut Jadwal Kirabnya

3. Pindah rumah 

Menurut primbon Jawa, orang-orang tidak disarankan untuk pindah rumah pada saat malam 1 Suro.

Mitosnya, orang yang melakukan perpindahan rumah saat malam Suro dipercaya akan mendapat hal buruk.

Maka sebaiknya pada saat 1 Suro, masyarakat Jawa dianjurkan untuk tidak melakukan pindah rumah.

4. Tidak menggelar acara pernikahan 

Orang tua Jawa masih mempercayai mitos bahwa pada saat malam 1 Suro dilarang menggelar acara pernikahan.

Mitosnya, menikahkan anaknya di bulan Suro akan mendatangkan kesialan.

Namun beberapa orang mengatakan bahwa hal ini adalah mitos belaka.

Baca juga: Mitos atau Fakta? Langsung Tidur Setelah Makan Bisa Sebabkan Diabetes, Ini Kata Dokter

Sejarah Malam 1 Suro

Tradisi malam Satu Suro menjadi sebuah momen sakral yang masih dipercaya masyarakat Jawa, terutama di daerah Yogyakarta dan Surakarta.

Tanggal satu Suro merupakan penanda tahun baru di penanggalan Jawa, yang bertepatan juga dengan tanggal satu Muharram di kalender Hijriyah (tahun baru Islam). 

Pada malam 1 Suro, umumnya akan diselenggarakan tradisi khusus untuk menyambut tahun baru,

Mengutip dari ambarrukmo.com, awal mula tradisi Satu Suro ini terjadi pada masa pemerintahan Kerajaan Mataram Islam.

Suro dalam penanggalan Jawa dapat diartikan dengan bulan yang suci serta menyimpan energi spiritual yang tinggi. 

Seluruh masyarakat Jawa yang masih mempercayai tradisi Kejawen pada malam 1 suro yang diharapkan untuk melakukan introspeksi diri serta memanjatkan doa untuk satu tahun berikutnya.

Penanggalan ini, berdasarkan sejarahnya, disusun oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma merupakan raja ketiga (1613–1645) dari Kerajaan Mataram Islam.

Ia menciptakan penanggalan Jawa yang juga terdapat unsur kalender Islam di dalamnya.

Proses penyatuan kalender Jawa dan Islam ini terjadi pada Jumat Legi, Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi.

Pada saat proses penyusunan kalender Jawa atau populer juga dengan sebutan kalender Sultan Agungan, beliau ingin membuat satu waktu dimana seluruh rakyat dari berbagai kalangan untuk mensucikan diri dari segala hal buruk dan introspeksi atas berbagai hal yang terjadi sebelumnya. 

Kemudian, pada bulan Suro inilah beliau meminta rakyatnya untuk mengolah tata batin mereka dari hal duniawi. 

Sejak saat itu tradisi Suro masih terus digelar oleh masyarakat Jawa terutama di Jogja serta Solo hingga saat ini.

(Tribunnews.com/Oktavia WW)(TribunJakarta.com/Muji Lestari)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved