Minggu, 5 Oktober 2025

HUT DKI Jakarta

HUT Jakarta 22 Juni, Inilah Deretan Nama Jakarta dari Masa ke Masa, Mulai Sunda Kelapa

Sepanjang sejarahnya, Jakarta pernah mengalami perubahan nama berulang kali, dari Sunda Kelapa, menjadi Jayakarta, Batavia, hingga saat ini.

Warta Kota/Yulianto
HUT JAKARTA - Masyarakat berwisata di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Selasa (28/1/2025). Artikel mengulas tentangJakarta pernah mengalami perubahan nama berulang kali, dari Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, hingga saat ini. 

TRIBUNNEWS.COM - Hari ini, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-498 Kota Jakarta pada Minggu (22/6/2025).

Sepanjang sejarahnya, ibu kota negara ini pernah mengalami perubahan nama berulang kali. 

Lebih dari 5 kali perubahan nama Jakarta, dari Sunda Kelapa, menjadi Jayakarta, Batavia hingga sekarang ini.

Dikutip dari situs resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pergantian nama ini salah satunya terkait momen peristiwa sejarah yang terjadi. 

Berikut deretan nama Jakarta dari masa ke masa:

1. Sunda Kelapa

Nama kota Jakarta adalah Sunda Kelapa terjadi sebelum berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh-Pakuan di abad ke-12.

Konon, sejatinya eksistensinya telah ada sejak abad ke-5, berada di bawah Kerajaan Tarumanegara.

Namun, meski Kerajaan Tarumanegara ini meninggalkan tujuh prasasti, tak satu pun yang ditemukan di kawasan Jakarta sekarang.

Adapun tuju prasasti tersebut, lima di antaranya ditemukan di kawasan Bogor, satu prasasti ditemukan di daerah Bekasi, dan satunya lagi di daerah Lebak Pandeglang (Banten). 

Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi (942 M), nama ‘Sunda Kalapa’ diperkirakan baru muncul ketika memasuki abad sepuluh.

Baca juga: 60 Twibbon HUT ke-498 Jakarta, Cocok Dibagikan di Instagram dan WhatsApp

Sementara terkait keberadaan Kerajaan Tarumanegara tersusun dalam Naskah Wangsakerta. 

Namun, karena naskah ini baru ditulis di abad ke-17, sehingga menyimpan banyak kontroversi dan polemik. 

Dalam kumpulan naskah yang disusun oleh Pangeran Wangsakerta selama 21 tahun, dari 1677–1698, disebutkan wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara sebagai embrio dari Kerajaan Tarumanegara itu mencakup Jawa bagian barat.

Termasuk semua pulau di sebelah barat Pulau Jawa, yaitu wilayah yang meliputi Lampung sekarang.

Di sisi lain, dari Naskah Wangsakerta itu muncul dua tafsiran. 

Pertama, ibu kota dari Kerajaan Salakanagara berkedudukan di ‘Pandeglang’, yang kini termasuk merupakan daerah di Propinsi Banten. 

Kedua, ibu kota dari Kerajaan Salakanagara berkedudukan di ‘Ciondet’, yang kini diperkirakan merupakan wilayah di Jakarta Timur.

Ciondet alias Condet berada tidak jauh dari bandar niaga besar bernama Sunda Kelapa, berjarak sekitar 30 kilometer ke arah utara.

2. Jayakarta

Kembali pada soal penamaan orang di masa lalu atas areal yang kini menjadi kawasan Jakarta.

Ketika orang Portugis pertama kali mengunjungi Kerajaan Galuh-Pakuan tahun 1511, berdasarkan laporan yang disimpan di Torre de Tombo Lisabon kota itu disebut nama ‘Kalapa’ (Adolf Heuken, 2001).

Tetapi, sejak pelabuhan Sunda Kelapa dikuasai oleh Fatahillah di tahun 1527, namanya diubah menjadi ‘Jayakarta’. 

Orang Barat yang singgah menyebut kota ini dengan nama ‘Jacatra’. Sampai 1619 orang Belanda masih menyebut dengan nama itu.

3. Batavia 

Perubahan nama menjadi Batavia ini, terjadi sejak Jan Pieterszoon Coen membawa 1.000 pasukan menyerang Kerajaan Banten dan menghancurkan Jayakarta pada 1619, kota ini dikuasai Belanda. 

Melalui kesepakatan De Heeren Zeventien (Dewan 17) dari VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), maka pada 4 Maret 1621 namanya menjadi ‘Batavia’.

Batavia berasal dari nama etnis Jermanik yang bermukim di tepi Sungai Rhein, dan dianggap sebagai nenek moyang bangsa Belanda dan Jerman, ‘Bataf’. 

Bangsa Belanda sangat mengagungkan nenek moyangnya, sehingga mereka merasa perlu mengabadikan nama Batavia di negeri jajahannya, termasuk di Indonesia.

Baca juga: HUT Ke-498 Jakarta, Ketua Fraksi PKB DPRD DKI Beri Catatan Ini soal Permasalahan Warga

Lalu, pada 1869, dibangunlah monumen JP Coen. Hal tersebut, dilakukan dalam kerangka memperingati 250 tahun usia Batavia.

Monumen tersebut, berlokasi di halaman Kementerian Keuangan saat ini, Lapangan Banteng di Jakarta Pusat.

Patung Coen menjadi simbol dimulainya penjajahan Belanda yang pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) dihancurkan.

Batavia juga merupakan nama sebuah kapal layar buatan Belanda (VOC) pada 29 Oktober 1628.

Perkembangannya, penduduk etnis asli setempat disebut dengan nama ‘Betawi’. 

Konon, penyebutan itu bukan berasal dari kata Batavia yang mengalami pelafalan secara lokal ke dalam bahasa Jawa. 

Berlanjut, mengenai nama Batavia. Dalam sejarahnya, nama Batavia paling lama dikenakan. 

Tiga abad lebih, nama Batavia digunakan untuk menyebut nama kota ini. Mulai 1619, atau sumber lain mengatakan tahun 1621, hingga tahun 1942. Sejalan dengan kebijakan de-Nederlandisasi oleh Pemerintah Jepang, nama kota sengaja diganti bahasa Indonesia atau Jepang. 

4. Djakarta 

Kemudian, pada 1942 nama Batavia berubah menjadi ‘Djakarta’ sebagai akronim ‘Djajakarta’.  

Menurut Lasmijah Hardi dalam ‘Jakartaku, Jakartamu, Jakarta Kita’ (1987), pergantian nama itu bertepatan dengan perayaan Hari Perang Asia Timur Raya pada 8 Desember 1942. 

Nama lengkap kota tersebut, ialah ‘Jakarta Tokubetsu Shi’.

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia ke-2 dan Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, nama Jakarta tetap lazim dipakai orang Indonesia dengan meninggalkan nama Jepang-nya.

Lantas, memasuki zaman Indonesia merdeka, Menteri Penerangan RIS (Republik Indonesia Serikat) saat itu, yaitu Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu, menegaskan sejak 30 Desember 1949 tidak ada lagi sebutan Batavia bagi kota ini. 

Sejak saat itu, Ibu Kota Republik Indonesia adalah Jakarta.

Pemberian nama Jakarta PUN kembali dikukuhkan pada 22 Juni 1956 oleh Wali Kota Jakarta Sudiro (1953-1960). 

Sebelum 1959, posisi Jakarta masih merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. 

5. Kota Praja Jakarta

Pada 1959, status Jakarta mengalami perubahan dari sebuah kota praja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat Satu yang dipimpin oleh gubernur. 

Adapun gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo. 

6. DKI Jakarta

Pada 1961, status Jakarta diubah kembali, dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI).

Penetapan tanggal 22 Juni itu, berdasarkan momen peristiwa kemenangan Fatahillah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527. 

Diketahui, untuk memperingati momen tersebut, nama Sunda Kelapa kemudian diubah menjadi Jayakarta. 

Kini, setiap tanggal 22 Juni praktis diperingati sebagai HUT Ibu Kota Republik Indonesia.

7. DKJ Jakarta

Dalam perkembangannya, status Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI Jakarta) menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ).

Melalui perubahan tersebut, sejak 25 April 2024, penduduk yang bermukim di Jakarta bukanlah lagi bagian dari masyarakat ibu kota.

Di mana ibu kota Indonesia berpindah tangan ke Nusantara, Kalimantan Timur.

Dikutip dari WartaKotalive.com, penetapan itu telah diresmikan melalui UU nomor 2 tahun 2023 tentang DKJ. 

Nantinya, kota yang diisi oleh banyak industri perkantoran ini, akan lebih konsen memajukan kebudayaan Betawi yang perawatannya bersumber dari dana APBD.

Sebagian artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Menengok Perjalanan Berubahnya DKI Jakarta menjadi DKJ, 8,3 Juta Penduduk Akan Urus Perubahan E-KTP

(Tribunnews.com/Suci Bangun DS, WartaKotalive.com/Nuri Yatul Hikmah)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved