Senin, 6 Oktober 2025

RUU KUHAP

Pakar: KUHAP Harus Imbangi Efektivitas Penegakan Hukum dan Perlindungan HAM

Ia menyoroti praktik-praktik yang belakangan marak terjadi, seperti cara aparat penegak hukum menyampaikan pengungkapan kasus pidana ke publik.

Penulis: Chaerul Umam
Tribunnews.com/Chaerul Umam
Bahas RUU KUHAP - Pakar hukum pidana Choirul Huda dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI membahas RUU KUHAP, Kamis (19/6/2025), mengusulkan agar penyelidikan tak perlu diatur dalam RUU KUHAP. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum pidana Choirul Huda, menekankan pentingnya Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mendatang, mengakomodasi keseimbangan antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). 

Hal itu disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, membahas RUU KUHAP, Kamis (19/6/2025).

Baca juga: Pakar Hukum Pidana Usul Penyelidikan Tak Perlu Diatur dalam RUU KUHAP, Ini Penjelasannya

“Kalau dalam ranah teoretik dalam hukum acara pidana, biasanya dikenal dua model dalam sistem peradilan pidana, yaitu crime control model dan due process model,” kata Choirul Huda, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.

Huda menjelaskan bahwa kedua model ini seringkali dipandang sebagai dua kutub yang bertentangan dalam desain sistem peradilan pidana. 

Baca juga: Komisi III DPR Kebut Pembahasan RUU KUHAP, Habiburokhman: Karena Ini Kan Sudah Emergency

Crime control model menitikberatkan pada efektivitas dalam penanggulangan kejahatan, sementara due process model lebih mengedepankan perlindungan terhadap hak-hak individu dalam proses hukum.

“Namun dalam hemat saya, ini mestinya bukan menjadi pilihan yang eksklusif. Keduanya harus diadopsi. Sistem hukum acara pidana kita harus efektif, tapi di sisi lain perlindungan hak asasi manusia tidak boleh dilupakan,” ucapnya.

Menurut Huda, tujuan utama dari crime control model adalah membangun sistem peradilan yang mampu menekan dan mengendalikan kejahatan secara efektif, dengan implementasi hukum pidana materiil seperti KUHP nasional dan berbagai undang-undang lainnya.

“Tentu ketika bicara crime control model, maka proses yang cepat, yang memungkinkan seseorang dibawa ke pengadilan untuk kemudian ditentukan bersalah atau tidak, itu adalah tujuan utama. Tapi, jangan sampai proses itu menimbulkan kesewenang-wenangan, ketidakadilan, bahkan tindakan yang berlebihan dan tidak pada tempatnya,” ucapnya.

Ia menyoroti praktik-praktik yang belakangan marak terjadi, seperti cara aparat penegak hukum menyampaikan pengungkapan kasus pidana ke publik melalui konferensi pers.

“Sering kali kita lihat dalam praktiknya sekarang, kadang-kadang tergambar proses yang berlebihan. Misalnya, uang triliunan dipajang, orang dipajang, lucunya namanya disebut inisial tapi jabatannya disebut lengkap. Namanya AH, jabatannya disebut ini, misalnya," ujarnya.

Baca juga: Akademisi Sebut RUU KUHAP Wajib Junjung HAM dan Pembatasan Waktu Penyidikan, Ini Alasannya

"Menurut saya, ini tindakan yang berlebihan dan tidak terkontrol dalam KUHAP, padahal orang itu belum tentu bersalah, baru diduga bersalah, baru jadi tersangka,” lanjutnya.

Huda mengingatkan agar dalam perumusan RUU KUHAP yang baru, pembuat undang-undang tidak mentoleransi praktik-praktik yang berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar peradilan yang adil dan berimbang.

“Proses-proses seperti itu menurut saya menggambarkan proses yang tidak wajar, berlebihan, dan jangan sampai KUHAP kita yang akan datang itu malah mentolerir hal-hal seperti itu,” tandasnya.

 

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

asia sustainability impact consortium

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved