Senin, 29 September 2025

Penulisan Ulang Sejarah RI

Dari Diskriminasi ke Penyangkalan, Kontroversi Peran Fadli Zon dalam Proyek Buku Sejarah

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyoroti pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon

Editor: Wahyu Aji
Tribunnews/Jeprima
TRAGEDI MEI 98 - Menteri Kebudayaan Fadli Zon berpose usai wawancara dengan Tribun Network di Gedung Kementerian Kebudayaan, Jakarta Selatan, Kamis (5/12/2024). Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyoroti pernyataan kontroversial Fadli Zon. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyoroti pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang mengategorikan perkosaan massal Mei 1998 sebagai 'rumor'. 

Karena banyaknya kejanggalan atas pikiran sang menteri, Usman dan aktivis perempuan pun menolak pemerintah menggarap proyek penulisan sejarah nasional.

"Pernyataan menteri yang menyebut perkosaan massal sebagai rumor justru tidak berhati-hati secara akademik. Ini bertentangan dengan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang melibatkan menteri strategis era Habibie," kata Usman dalam diskusi yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia, Selasa (2/11/2025).

Usman menegaskan, penyangkalan ini mengabaikan otoritas laporan resmi yang telah diserahkan kepada Presiden BJ Habibie.

"Laporan TGPF mencantumkan temuan perkosaan sistematis di Jakarta, Surabaya, Solo, dan Medan. Mengapa menteri sekarang yang tak terlibat dalam proses pencarian fakta justru berani menyangkal?" ujarnya.

Sementara itu, aktivis emansipasi perempuan Nursyahbani Katjasungkana menambahkan, penyangkalan ini melanjutkan tradisi impunitas.

"Selama 25 tahun, tak ada tindak lanjut atas rekomendasi TGPF. Kini, alih-alih memenuhi rekomendasi itu, pemerintah malah menghidupkan kembali penyangkalan melalui proyek penulisan sejarah," kritik Nursyahbani, koordinator International People's Tribunal 1965 ini.

Dia mengingatkan, selain TGPF, laporan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan pelapor khusus PBB Radhika Coomaraswamy telah mengonfirmasi kekerasan seksual massal.

"Ironisnya, laporan PBB yang diundang pemerintah justru ditolak di forum internasional oleh Indonesia sendiri," ungkapnya.

Kedua tokoh menolak keras upaya pembentukan narasi tunggal sejarah.

"Pola ini persis seperti rekayasa sejarah 1965 oleh Orde Baru. Kini mereka berusaha menghapus memori kekerasan 1998 dengan dalih 'kehati-hatian akademik'," kata Usman.

Protes ini muncul menyusul rencana Kementerian Kebudayaan menerbitkan buku sejarah resmi yang diduga akan mereduksi pelanggaran HAM masa lalu.  

Nursyahbani menegaskan, korban kekerasan negara berhak atas pengakuan.

Baca juga: Didesak Minta Maaf soal Pemerkosaan Massal 1998, Fadli Zon: Silakan Saja Beda Pendapat

"Mengatakan 'tidak ada bukti' sambil mengabaikan konteks politik dan ketakutan korban melapor adalah bentuk pengaburan baru atas kejahatan kemanusiaan," tegasnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan