Senin, 29 September 2025

Penulisan Ulang Sejarah RI

Fadjroel Rachman Bicara Kutukan jika Kekerasan Seksual Mei 1998 Terulang, Sindir Fadli Zon?

Fadjorel Rachman membagikan pidato Presiden ke-3 RI BJ Habibie tentang sejarah kelam kekerasan seksual pada Mei 1998, dikutuk untuk terulang kembali

|
TribunNewsmaker - YouTube Najwa Shihab
FADJROEL SEBUT KUTUKAN - Juru Bicara Presiden RI, Fadjroel Rachman dan Politisi Gerindra Fadli Zon. Fadjorel Rachman membagikan pidato Presiden ke-3 RI BJ Habibie tentang sejarah kelam kekerasan seksual pada Mei 1998, dikutuk untuk terulang kembali 

TRIBUNNEWS.COM - Duta Besar Indonesia di Kazakhstan, Fadjorel Rachman membagikan pernyataan Presiden ke-3 RI, BJ Habibie tentang kekerasan terhadap perempuan pada Mei 1998.

Fadjroel yang juga bagian dari aktivis 1998 itu ingin berbagi cerita sejarah kelam yang pernah diungkap Habibie dalam sebuah pidato.

Pada akun LinkedIn dan X miliknya, Fadjorel mengunggah ulang video pidato Habibie serta selembar gambar surat pernyataan.

Yakni tentang kecaman terhadap kekerasan seksual (korban perempuan) yang terjadi pada Mei 1998.

Fadjroel menegaskan, sejarah kelam yang dilupakan akan dikutuk untuk terulang kembali.

Unggahan tersebut diunggahnya di tengah polemik pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon belakangan.

Berikut unggahan Fadjroel yang diunggah pada Minggu (15/6/2025):

"Pernyataan Presiden Republik Indonesia ke-3 Prof. B. J. Habibie tentang Kekerasan Terhadap Perempuan yang terjadi pada pertengahan Mei 1998. Sejarah kelam yang dilupakan akan dikutuk untuk terulang kembali.

Forgiven but not Forgotten ~ 

#BungFADJROEL #TragediMei1998 #Reformasi1998."

Fadjroel Rachman membagikan video pidato Presiden ke-3 RI, BJ Habibie
SEJARAH KELAM - Unggahan duta besar Indonesia di Kazakhstan, Fadjroel Rachman membagikan video pidato Presiden ke-3 RI, BJ Habibie mengenai sejarah kelam Mei 1998 tindak kekerasan seksual terhadap perempuan.

Sebelumnya, saat siniar bersama jurnalis senior Uni Lubis, Fadli Zon menjawab pertanyaan mengapa peristiwa kekerasan terhadap perempuan dalam tragedi Mei 1998 tidak dimasukkan dalam proyek buku tersebut.

Baca juga: Fadli Zon Sebut Rumor, BJ Habibie Kecam Kekerasan terhadap Perempuan dalam Kerusuhan Mei 1998

Fadli menyatakan hal tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan belum memiliki dasar bukti kuat.

“Kalau itu, itu menjadi domain pada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita enggak pernah tahu ada enggak fakta keras. Kalau itu kita bisa berdebat,” ujarnya.

Fadli mempertanyakan klaim tentang adanya rudapaksa massal dalam peristiwa tersebut.

Politikus Partai Gerindra itu menyebut sampai saat ini tidak ada bukti konkret yang dapat dipertanggungjawabkan secara historis.

“Nah, ada rudapaksa massal betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Enggak pernah ada proof (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucapnya.

Pidato Habibie

Dalam pernyataannya, Habibie mengungkapkan penyesalan mendalam atas terjadinya berbagai bentuk kekerasan, khususnya terhadap perempuan, yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.

Pernyataan tersebut disampaikan Habibie setelah menerima laporan dari para tokoh masyarakat yang tergabung dalam gerakan Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Laporan itu disertai bukti-bukti nyata dan otentik mengenai kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia pada pertengahan Mei 1998.

“Atas nama pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, saya mengutuk keras berbagai aksi kekerasan yang terjadi dalam peristiwa kerusuhan di berbagai tempat secara bersamaan, termasuk kekerasan terhadap perempuan,” ujar Presiden Habibie.

BJ Habibie, Kamis (21/5/1998), mengucapkan sumpah sebagai Presiden RI yang baru di Jakarta, disaksikan presiden sebelumnya, Soeharto.
BJ Habibie, Kamis (21/5/1998), mengucapkan sumpah sebagai Presiden RI yang baru di Jakarta, disaksikan presiden sebelumnya, Soeharto. (Dokumen Kompas)

Habibie juga menegaskan bahwa pemerintah akan bersikap proaktif dalam memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada seluruh lapisan masyarakat, guna mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.

Lebih lanjut, ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan bekerja sama dengan pemerintah.

Habibie Presiden meminta agar masyarakat segera melaporkan kepada aparat apabila mengetahui adanya tanda-tanda atau potensi kekerasan terhadap perempuan, di mana pun dan dalam bentuk apa pun.

Pernyataan ini menegaskan komitmen pemerintah dalam menegakkan hak asasi manusia, khususnya perlindungan terhadap perempuan, serta menandai langkah awal dalam upaya rekonsiliasi dan penegakan keadilan pasca tragedi nasional tersebut.

"Setelah saya mendengar laporan dari ibu-ibu tokoh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun juga di bumi Indonesia pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, menyatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia," kata Habibie.

Dalam pernyataannya, Habibie atas nama kepala negara saat itu tidak hanya mengakui dan menyesal.

Habibie juga menjanjikan pemerintah akan memberikan perlindungan keamanan kepada seluruh masyarakat untuk menghindari terulangnya kasus serupa yang disebut "sangat tidak manusiawi dalam sejarah bangsa Indonesia".

Habibie juga meminta agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan segera jika melihat adanya kekerasan terhadap perempuan di mana pun.

Di akhir pernyataannya, Habibie kembali menegaskan atas nama pemerintah mengutuk aksi kekerasan dan peristiwa kerusuhan yang terjadi, termasuk kekerasan terhadap perempuan. 

Pergantian tampuk kepemimpinan negeri ini dari rezim Orde Baru menuju Era Reformasi diawali dengan pembentukan berbagai lembaga baru.

Kelahiran pertama lembaga baru tersebut adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang ditetapkan lewat Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 9 Oktober 1998.

Karenanya, lembaga yang berkantor di Jalan Latuharhary Nomor 4B, Menteng, Jakarta Pusat ini sering dijuluki sebagai "Anak Sulung Reformasi".

Mereka kemudian dikuatkan oleh Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 Junto Peraturan Presiden No 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Lembaga yang berusia 26 tahun ini ditugaskan untuk menjaga agar peristiwa perkosaan massal tidak terulang lagi.

Fadli Zon Dianggap Ingin Hapus Jejak Pelanggaran HAM Berat

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas pun menilai pernyataan Fadli Zon tersebut berupaya untuk menghapus jejak pelanggaran HAM yang terjadi saat Peristiwa Mei 1998, khususnya terkait peristiwa kekerasan seksual.

Secara keseluruhan, Fadli Zon juga dianggap tengah meniadakan narasi terkait Orde Baru dari proyek revisi penulisan sejarah yang telah digarap oleh kementerian yang dipimpinnya.

"Tindakan ini pun merupakan kemunduran negara dalam menjamin perlindungan kepada perempuan dan justru semakin memperkuat citra maskulinitas negara," demikian pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil.

PENULISAN ULANG SEJARAH - Menteri Kebudayaan RI (Menbud) Fadli Zon saat ditemui awak media di Taman Sriwedari, Depok, Minggu (1/6/2025). Fadli Zon mengutarakan agar PDIP tidak perlu khawatir soal penulisan ulang sejarah Indonesia, pasalnya pemerintah akan mengedepankan apa yang menjadi pesan Presiden pertama RI Ir. Soekarno.
PENULISAN ULANG SEJARAH - Menteri Kebudayaan RI (Menbud) Fadli Zon saat ditemui awak media di Taman Sriwedari, Depok, Minggu (1/6/2025). Fadli Zon mengutarakan agar PDIP tidak perlu khawatir soal penulisan ulang sejarah Indonesia, pasalnya pemerintah akan mengedepankan apa yang menjadi pesan Presiden pertama RI Ir. Soekarno. (Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra)

Fadli Zon juga dipandang tengah berupaya memutus ingatan kolektif dan mengkhianati perjuangan para korban untuk memperoleh pengakuan, keadilan, kebenaran, dan pemulihan.

Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan pelanggaran berat HAM adalah bentuk komitmen dalam membentuk sejarah yang mempersatukan bangsa sebagai bagian tidak terpisahkan dalam sejarah Indonesia sekaligus menjadi pembelajaran generasi mendatang.

Terpisah, sejarawan sekaligus aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia, mendesak Fadli Zon, untuk meminta maaf setelah menyebut tidak adanya korban pemerkosaan saat tragedi Mei 1998.

Ita mengatakan pernyataan Fadli tersebut kebohongan publik.

Padahal, fakta adanya pemerkosaan terhadap perempuan saat Mei 1998 tertulis dalam buku sejarah dan temuan dari tim gabungan pencari fakta (TGPF) era Presiden ke-3 RI, BJ Habibie.

"Apa yang dikatakan Fadli Zon adalah dusta. Fakta perkosaan massal tertulis jelas di Buku Sejarah Nasional Jilid 6 halaman 699, termasuk temuan TGPF yang diserahkan ke Presiden Habibie," ujarnya dalam pertemuan daring di YouTube Koalisi Perempuan Indonesia, Jumat (13/6/2025).

Bahkan, temuan TGPF tersebut merupakan tonggak awal mula lembaga independen seperti Komnas Perempuan.

Ita mengungkapkan pernyataan Fadli tersebut juga wujud pembangkangan terhadap negara.

Pasalnya, sambung Ita, tragedi Mei 1998 termasuk dengan segala peristiwa di dalamnya seperti pemerkosaan massal sudah diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat.

"Presiden Jokowi pun ada 2023 menetapkan 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Mei 1998, melalui rekomendasi PP HAM. Fadli sebagai menteri justru mengingkari keputusan negara," jelasnya.

Ita juga mengungkapkan kematian aktivis perempuan sekaligus korban pemerkosaan Mei 1998 yang bernama Ita Martadinata menjadi bukti adanya tindakan amoral tersebut.

Bahkan, dia juga mengaku ada sejumlah korban menghubunginya untuk bertanya apakah perlu untuk bertestimoni terkait peristiwa pemerkosaan yang dialaminya.

Menurutnya, beragam fakta tersebut menjadi bukti bahwa peristiwa pemerkosaan saat tragedi Mei 1998 benar-benar terjadi.

Sehingga, dia mendesak agar Fadli meminta maaf terkait pernyataannya yang menyebut tidak adanya pemerkosaan pada Mei 1998.

"Fadli bahkan membantah temuan TGPF yang diakui negara. Ini bentuk pengkhianatan terhadap korban," ujarnya.

(Tribunnews.com/Chrysnha, Wahyu Aji, Yohanes Liestyo Poerwoto)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan