Senin, 6 Oktober 2025

Hasto Kristiyanto dan Kasusnya

Di Sidang Hasto Kristiyanto, Ahli Bahasa UI Ditanya Jaksa soal Percakapan di WhatsApp

Ahli Bahasa dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Frans Asisi Datang dihadirkan dalam sidang Hasto Kristiyanto.

Penulis: Fahmi Ramadhan
Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan
SIDANG HASTO: Ahli Bahasa dari Fakuktas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Frans Asisi Datang saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang lanjutan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/6/2025). 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Bahasa dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Frans Asisi Datang menjelaskan dalam dunia politik komunikasi, semakin tinggi jabatan maka akan semakin rumit komunikasinya.

Maka menurutnya mesti ada analisis lebih dulu untuk memahaminya.

Hal tersebut diungkapkan oleh Frans saat dihadirkan sebagai ahli oleh jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang kasus suap dan perintangan penyidikan pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/6/2025).

Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto.

Pernyataan Frans itu bermula ketika ia ditanya pertanyaan jaksa mengenai penyusunan kalimat dalam komunikasi politik.

"Dalam menyusun kata-kata, kalimat dalam komunikasi WA (WhatsApp), apakah juga tadi basic? Kalau tadi ahli juga sampaikan ada latar belakang, keilmuan, kemudian wawasan pengetahuan, level jabatan, status sosial, apakah itu juga menjadi bagian dalam isi kata-kata penentuan, kata-kata penyusunan kalimat dalam teks WA misalnya?" tanya jaksa di ruang sidang.

Frans pun menuturkan bahwa kalimat yang digunakan dalam komunikasi politik atau korupsi penuh dengan teka-teki.

Salah satu kasus yang disinggung dan pernah dialaminya yakni kasus dugaan rasuah yang menjerat mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham.

"Jadi misalnya, satu kasus yang saya sebutkan, kasus korupsi yang melibatkan mantan Sekjen Golkar, saya juga ahlinya. Dan saya waktu itu bisa menjelaskan arti kalimat-kalimat itu dan yang paling, yang saya alami dalam kasus-kasus korupsi adalah atau pengalaman saya, teks-teks itu penuh teka-teki, tidak transparan, tidak lugas seperti percakapan biasa," kata Frans.

"Dan untuk hal seperti ini, sebagai ahli, saya punya pengalaman bahwa teks-teks yang berkaitan dengan politik, sosial, korupsi, dan lain-lain, itu harus diteliti lebih jauh, tidak sederhana," sambungnya.

Kemudian jaksa menanyakan terkait dengan penyusunan kata yang terjadi antara atasan dengan bawahannya yang kerap dilakukan dalam aplikasi WhatsApp.

Frans menyatakan jika komunikasi melibatkan level jabatan yang tinggi maka semakin rumit bahasa yang digunakan.

Sehingga, menurut dia, untuk memahami maksud komunikasi itu harus lebih dulu dilakukan proses analisa.

"Kalau pengalaman saya, semakin tinggi jabatan, semakin berusaha untuk menyampaikan sesuatu secara rumit. Jadi harus dianalisis," kata dia.

"Misalnya bahasa politik, ketika seorang menteri berbicara misalnya akan diamankan, itu bukan berarti harafiah, seperti kata aman, bisa berarti akan diteruskan atau akan dihentikan," lanjutnya.

Lebih jauh, kata Frans, bahasa politik disebutnya juga penuh dengan makna konotatif.

Maka itu perlu dipahami secara politik, dimana setiap penggunaan bahasa perlu dipahami konteksnya.

Kemudian, jaksa menanyakan terkait dengan konteks tersebut telah dipahami kedua pihak atau belum. 

Frans menjawab jika konteks pasti telah dipahami keduanya.

"Pendapat ahli untuk konteks komunikasi dengan tadi basic keilmuan, jabatan dan sebagainya, apakah kedua belah pihak ini komunikasi pasti tahu konteks apa yang dikomunikasikan dalam percakapan itu? Tolong dijelaskan," tanya jaksa.

"Betul sekali. Jadi dalam konteks antara dua pembicara atau lebih di dalam sebuah WA misalnya percakapan WA atau percakapan langsung pun, orang bisa menggunakan kata-kata yang sudah dipahami oleh keduanya atau orang satu kelompok itu," jelas Frans.

"Jadi konteksnya itu mereka pasti sudah paham. Tidak mungkin tiba-tiba membicarakan sesuatu jadi tanpa konteks. Kalau seperti itu pasti dari satu pihak mengatakan, 'ini dalam hal apa? Ini kaitannya apa? Ini maksudnya apa?' Kalau pertanyaan seperti itu berarti yang satu pihak mendengar misalnya atau lawan bicaranya itu belum masuk di dalam konteks. Tapi kalau dia katakan 'oke, oh iya setuju, mantap', atau apalah, itu berarti dia sama konteksnya dengan si pembicara itu," sambungnya.

Kasus Hasto Kristiyanto

Seperti diketahui Sekertaris Jenderal (Sekjen) PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam kepengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.

Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (Jpu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jum'at (14/3/2025).

"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu," kata Jaksa KPK Wawan Yunarwanto.

Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaanya yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 ribu Dollar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

"Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme," ucap Jaksa.

Jaksa mengatakan, peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019 dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.

Adapun dalam pemilu 2019, Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.

Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara.

Lalu berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).

Setelah itu Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.

"Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa," ujar Jaksa.

Setelah itu selang satu bulan yakni Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.

Atas keputusan itu Hasto pun memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.

Kemudian DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.

"Menindaklanjuti surat dari DPP PDIP tersebut yang pada pokoknya KPU RI tidak dapat memenuhi permohonan DPP PDI-P karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," sebutnya.

Setelah tidak bisa memenuhi permintaan DPP PDIP, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.

Akan tetapi operasi pengajuan Hasto sebagai anggota DPR masih berlanjut.

Dimana Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp 600 juta.

Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

CAPTION: SIDANG HASTO: Ahli Bahasa dari Fakuktas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Frans Asisi Datang saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang lanjutan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/6/2025). (Fahmi Ramadhan/Tribunnews.com)

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved