Tambang Nikel di Raja Ampat
Greenpeace Sebut 4 Izin Pertambangan di Raja Ampat Berada dalam Geopark yang Diakui UNESCO
Greenpeace mengungkapkan tambang nikel di Raja Ampat berlokasi di geopark yang sudah diakui sebagai situs dunia oleh UNESCO.
TRIBUNNEWS.COM - Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, mengungkapkan empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Raja Ampat, Papua Barat Daya, berlokasi di dalam geopark.
Bahkan, Iqbal mengatakan geopark tersebut sudah diakui oleh organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNESCO, sebagai warisan dunia.
Dengan fakta tersebut, Iqbal mempertanyakan pernyataan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, yang masih memutuskan untuk menghentikan sementara alih-alih menghentikan secara total aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat.
"Empat dari lima izin yang ada di sana itu ada di alam geopark yang sudah diterbitkan UNESCO sebagai warisan dunia. Argumentasi apa lagi yang ditunggu pemerintah dan DPR untuk ditinjau ulang," katanya, dikutip dari program Kompas Petang di YouTube Kompas TV, Sabtu (7/6/2025).
Iqbal juga mempertanyakan langkah Bahlil tersebut karena aktivitas pertambangan nikel seperti yang dilakukan oleh anak perusahaan PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, PT Gag Nikel sudah jelas melanggar UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Lalu, UU tersebut pun dipertegas lewat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI terkait pelarangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 50.
Sebagai informasi, berdasarkan siaran pers dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), PT Gag Nikel melakukan aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag dan dinyatakan telah melanggar UU Nomor 1 Tahun 2014.
"Ini kan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 35 ayat k menjelaskan secara pasti bahwa kegiatan pertambangan mineral dan batu bara dilarang di pulau-pulau kecil. Kepmen KKP Nomor 50 juga melarang, apa yang mau ditunggu gitu lho," jelasnya.
Iqbal mengungkapkan sebenarnya warga Raja Ampat sudah menyuarakan terkait aktivitas pertambangan nikel tersebut sejak tahun 2022 lalu.
Baca juga: Anggota DPR Asal Papua Desak Pihak yang Terbitkan Izin Tambang Nikel di Raja Ampat Diperiksa
Bahkan, sambungnya, warga setempat juga telah berdemonstrasi selama bertahun-tahun.
"Bahkan, di PT Gag Nikel ini sudah diangkat sejak tahun 2022 kejahatan lingkungan atau kerusakan lingkungan yang terjadi di sana," katanya.
Bahlil Hentikan Sementara Tambang Nikel di Raja Ampat
Sebelumnya, Bahlil telah memutuskan untuk menghentikan sementara seluruh kegiatan operasional pertambangan nikel di Raja Ampat.
Adapun keputusan ini diambil menyusul kekhawatiran dari masyarakat dan aktivis lingkungan soal kerusakan ekosistem di Raja Ampat akibat aktivitas pertambangan nikel.
Bahlil mengungkapkan, penghentian sementara kegiatan produksi akan terus berlangsung hingga tim dari Kementerian ESDM menyelesaikan proses verifikasi dan evaluasi terkait aktivitas pertambangan di wilayah Raja Ampat.
Selanjutnya, Bahlil juga mengungkapkan rencananya untuk melakukan kunjungan langsung ke lokasi tambang tersebut.
Kunjungan ini juga akan mencakup peninjauan sumur-sumur minyak dan gas yang ada di Papua.
"Dalam beberapa minggu ke depan, saya berencana untuk memeriksa sumur-sumur minyak dan gas di daerah Kepala Burung, Sorong, Fakfak, dan Bintuni. Saya akan turun langsung, dan kemungkinan besar saya akan mengecek lokasi tambang nikel sekaligus," jelas Bahlil pada Kamis (5/6/2025).
Ada 4 Perusahaan Tambang Nikel Langgar Aturan
Sementara, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Gag Nikel (PT GN) melakukan pelanggaran serius terkait lingkungan dalam aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Dikutip dari siaran pers KLH pada Jumat (6/6/2025), PT GN yang melakukan penambangan nikel di lahan seluas 6.000 hektar di Pulau Gag tersebut dinyatakan melanggar aturan perundang-undangan.
Pelanggaran yang dimaksud terkait aktivitas pertambangan yang dilakukan di pulau kecil.
"Sementara itu, PT Gag Nikel beropeasi di Pulau Gag dengan luas 6.030 hektare. Kedua pulau tersebut tergolong pulau kecil, sehingga aktivitas pertambangan di dalamnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil," kata KLH.
Selain PT Gag Nikel, KLH juga menemukan pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh tiga perusahaan lain yaitu PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP), dan PT Kawei Sejahtera Mining.
Untuk PT ASP, KLH menemukan adanya pelanggaran berupa melakukan aktivitas pertambangan tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah larian.
Adapun perusahaan Penanaman Modal Asing asal Tiongkok itu melakukan pertambangan nikel di Pulau Manuran dengan luas 746 hektare.
"Di lokasi ini, KLH/BPLH memasang plang peringatan sebagai bentuk penghentian aktivitas," ujarnya.
Menteri Lingkungan (LH), Hanif Faisol Nurofiq, mengungkapkan pihaknya tengah memeriksa dan mengevaluasi Persetujuan Lingkungan yang dimiliki PT ASP dan PT GN.
Baca juga: Kehadiran Bahlil di Sorong Disambut Teriakan Penipu dari Demonstran Imbas Tambang Nikel Raja Ampat
Jika ditemukan adanya aktivitas pertambangan yang melanggar hukum, maka izin lingkungan kedua perusahaan tersebut akan dicabut.
"Penambangan di pulau kecil adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antargenerasi."
"KLH/BPLH tidak akan ragu mencabut izin jika terbukti merusak ekosistem yang tak tergantikan," kata Hanif.
Selanjutnya, pelanggaran yang dilakukan oleh PT MRP adalah perusahaan tersebut tidak memiliki dokumen lingkungan dan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Adapun PT MRP melakukan aktivitas pertambangan nikel di Pulau Batang Pele.
Alhasil, seluruh kegiatan ekspolrasi PT MRP harus dihentikan setelah adanya pelanggaran tersebut.
Terakhir yaitu PT KSM melanggar ketentuan di mana membuka eksplorasi tambang di luar izin lingkungan di Pulau Kawe.
"Sementara PT Kawei Sejahtera Mining terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas lima hektare di Pulau Kawe," kata KLH.
Akibat aktivitas pertambangan PT KSM, pesisir pantai di Pulau Kawe mengalami sedimentasi.
Perusahaan tersebut pun diberi sanksi berupa pemulihan lingkungan secara keseluruhan serta berpotensi menghadapi gugatan perdata.
Lebih lanjut, seluruh aktivitas pertambangan yang dilakukan keempat perusahaan tersebut di kawasan Raja Ampat juga telah melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI terkait pelarangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil.
"MK menegaskan bahwa penambangan mineral di wilayah-wilayah tersebut dapat menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible), melanggar prinsip pencegahan bahaya lingkungan dan keadilan antargenerasi."
"Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen menindak tegas seluruh bentuk pelanggaran yang membahayakan lingkungan dan masa depan wilayah pesisir Indonesia," jelas KLH.
Di sisi lain, pemberian sanksi terhadap empat perusahaan tersebut setelah KLH melakukan pengawasan pada 26-31 Mei 2025 lalu.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Endrapta)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.