Wacana Pergantian Wapres
Jalan Berliku Makzulkan Gibran: 3 Syarat Harus Dipenuhi, Koalisi Besar di DPR Jadi Penghambat
Pemakzulan terhadap Gibran riuh terdengar dari Forum Purnawirawan TNI. Namun, apakah mudah untuk merealisasikan usulan tersebut secara konstitusional?
TRIBUNNEWS.COM - Wacana pemakzulan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI diserukan oleh Forum Purnawirawan TNI beberapa waktu lalu.
Adapun usulan ini pun disebut akan dipelajari oleh Presiden Prabowo Subianto.
Hal ini sempat disampaikan oleh Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Jenderal (Purn) TNI Wiranto pada Kamis (24/4/2025).
"Dipelajari satu per satu karena itu masalah-masalah yang tidak ringan, masalah yang sangat fundamental," katanya dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta.
Namun, bagaimana cara agar pemakzulan terhadap Gibran bisa berhasil dilakukan secara konstitusional?
Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mulanya menjelaskan agar pengusul pemakzulan Gibran tidak hanya berfokus kepada aturan tertentu yaitu Pasal 3 UUD 1945 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Di mana dalam ayat 3 pasal tersebut, MPR memiliki wewenang untuk memberhentikan Presiden ataupun Wakil Presiden.
"Kita semua paham Majelis Permusyawaratan Rakyat memang memiliki kewenangan untuk memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden."
"Tetapi, kan kalau kita baca, tidak boleh hanya membaca Pasal 3 Undang-Undang Dasar," katanya dikutip dari program Sapa Indonesia Pagi di YouTube Kompas TV, Kamis (1/5/2025).
Baca juga: Hitung-hitungan Kesuksesan Makzulkan Gibran, Pengamat: Tidak Mudah, Mayoritas DPR Dukung Pemerintah
Zaenal juga mengungkapkan bahwa pihak-pihak yang mengusulkan pemakzulan, harus mempertimbangkan pasal lain dalam UUD 1945 yaitu Pasal 7A dan 7B UUD 1945 yang mengatur soal mekanisme pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden.
"Jadi untuk memberhentikan Presiden (dan Wakil Presiden) ada dua hal yang harus dibacakan, yaitu yang pertama adalah syaratnya kenapa dia diberhentikan dan kedua adalah tata caranya atau mekanisme penegakannya," tuturnya.
Selanjutnya, Zaenal menjabarkan tiga hal yang menjadi syarat untuk memberhentikan Presiden ataupun Wakil Presiden.
Pertama, Presiden atau Wakil Presiden bisa diberhentikan jika ada permasalahan terkait administrasi.
Kedua, adanya pelanggaran hukum yang dilakukan saat menjabat.
"Ketiga, adalah syarat melakukan perbuatan tercela atau miss the manner," jelas Zaenal.
Mekanisme Panjang Pemakzulan Gibran
Zaenal pun mengakui bahwa mekanisme untuk memakzulkan Gibran sangatlah panjang karena tidak serta-merta hanya mengacu pada Pasal 3 UUD 1945 yang mengatur wewenang MPR untuk memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden.
Namun, sambungnya, alur mekanisme awal adalah DPR terlebih dahulu mengemukakan pendapatnya terkait alasan pemakzulan, lalu dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diputuskan apakah Gibran layak untuk dimakzulkan atau tidak.
"Mekanismenya kan tidak melalui MPR semata. Dia (pemakzulan) harus dimulai dari DPR, lalu DPR menyampaikan hak menyatakan pendapatnya."
"Lalu akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi akan mengatakan iya atau tidak. Baru kemudian dibawa ke MPR untuk memutuskan di ujungnya," jelas Zaenal.
Zaenal pun menekankan jika memang pemakzulan ini akan direalisasikan secara konstitusional, maka dia berharap agar DPR mencari perbuatan tercela yang dilakukan Gibran semasa menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
"Saya kira lebih baik DPR memulainya dengan semisal kalau Gibran dianggap memenuhi syarat Wakil Presiden, barangkali sempat heboh-heboh soal ijazah. Silahkan, kalau memang ditemukan bukti kuat soal itu."
"Kalau misalnya miss the maner atau perbuatan tercela, semisal ada konteks (akun) Fufufafa-nya kemarin, betulkah dia yang melakukannya atau tidak," jelas Zaenal.
Bagaimana Peluang Kesuksesan Pemakzulan Gibran?

Zaenal menilai peluang kesuksesan pemakzulan terhadap Gibran jika dilakukan secara konstitusional, secara matematis, sangatlah sulit.
Dia menuturkan mekanisme yang panjang menjadi faktor utama sulitnya pemakzulan terhadap Gibran.
Ditambah, kata Zaenal, fraksi yang duduk di parlemen mayoritas berkoalisi dengan pemerintah.
Namun, dia mengungkapkan usulan pemakzulan bisa ditindaklanjuti.
"Bisa saja dicoba untuk dilakukan sepanjang mekanismenya kan ada. Semisal, usulan menyatakan pendapat kan dilakukan sekurang-kurangnya dilakukan oleh berapa orang anggota DPR, tergabung dari sekurang-kurangnya berapa fraksi, lalu kemudian dibawa ke proses pleno, pleno itu berapa korumnya, itu kan ada proses," katanya.
"Terlepas dari proses itu, tentu secara matematis sulit karena koalisi pendukung pemerintah itu kan sangatlah besar," sambung Zaenal.
Analisis yang sama juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, di mana terealisasinya Gibran dimakzulkan sangatlah sulit.
Pasalnya, mayoritas fraksi yang berada di parlemen saat ini adalah pendukung pemerintahan Kabinet Merah Putih pimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
"Secara politik, memang berat untuk melakukan proses pemakzulan di saat 81 persen kekuatan pemerintah menguasai parlemen. Hitung-hitungannya tidak mudah untuk merubah itu," katanya dikutip dari program Satu Meja The Forum di YouTube Kompas TV, Kamis (1/5/2025).
Di sisi lain, Burhanudin pun mengakui bahwa isu pemakzulan bukan hanya sekali terjadi seperti saat ini.
Namun, dia mengatakan baru di era sekarang ini, pemakzulan ditujukan kepada wakil presiden alih-alih presiden.
Ia mencontohkan beberapa kasus pemakzulan di Indonesia seperti terhadap Presiden pertama, Soekarno dan Presiden ke-4 RI, Abdurahman Wahid atau Gus Dur.
"Memang isu penuntutan mundur kepada pimpinan nasional bukan isu baru. Bahkan, sudah terealisasi minimal pasal impeachment pernah diberlakukan ke Soekarno dan Gus Dur.
"Tapi yang terjadi kalau kita dibandingkan ke belakang, Pak Habibie pernah diminta mundur, Pak SBY pernah, Pak Jokowi apalagi. Tapi, baru kali ini tuntutan diganti itu diarahkan ke wakil presiden," jelas Burhanudin.
Namun, Burhanudin mengatakan akan ada dampak ke depannya terhadap Gibran terkait usulan agar dia diganti menjadi wakil presiden, yaitu terkait Pilpres 2029.
Dia menganalisis bahwa secara politik, Gibran telah 'tersandera' akibat adanya usulan pemakzulan dari Forum Purnawirawan TNI tersebut.
Ditambah, Gibran semakin 'tersandera' secara politik buntut adanya penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
"Jadi sangat sulit untuk membayangkan Gibran maju lagi di (Pilpres) 2029 baik sebagai capres maupun cawapres," katanya.
"Dan jangan lupa Pak Prabowo sudah diputuskan sebagai capres Gerindra dan didukung oleh PAN, tetapi yang belum pasti siapa cawapresnya," pungkas Burhanudin.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.