Revisi UU TNI
VIDEO Putri Bung Hatta, Sumarsih, Hingga Guru Besar UI Bacakan Petisi Tolak RUU TNI
Kami menolak RUU TNI maupun DIM RUU TNI yang disampaikan Pemerintah ke DPR
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Suasana di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terasa berbeda.
Sejumlah tokoh masyarakat dari akademisi, aktivis HAM, hingga keluarga korban pelanggaran HAM berat berkumpul, menyuarakan satu sikap menolak revisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tetang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang tengah bergulir di DPR.
Mereka membacakan petisi membacakan petisi penolakan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
Di antara mereka, tampak putri proklamator sekaligus Wakil Presiden pertama RI Halida Nuriah Hatta, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto, cendekiawan Sukidi Mulyadi, aktivis HAM Smita Notosusanto, hingga ibunda dari korban tragedi Semanggi I, Maria Catarina Sumarsih.
Selain itu, sejumlah organisasi yang perwakilannya hadir dalam kegiatan tersebut yakni YLBHI, Perempuan Mahardika, Imparsial, HRWG, Green Peace Indonesia, Bijak Memilih, KontraS, Gebrak, PSHK, LBH Pers, Transparency International Indonesia, dan Centra Initiative.
Mereka berdiri tegap, lantang membacakan pernyataan sikap.
“Tolak RUU TNI! Tolak RUU TNI!” pekik mereka serempak di akhir pembacaan petisi.
Sejumlah pokok masalah yang termuat dalam petisi tersebut antara lain agenda reformasi peradilan militer yang seharusnya didorong pemerintah dan DPR, kekhawatiran kembalinya dwifungsi ABRI melalui penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil, desakkan untuk menertibkan pelanggaran terhadap UU TNI terkait penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil yang telah terjadi selama ini, usulan TNI membantu penanganan masalah narkoba dalam DIM pemerintah, selain itu juga soal revisi klausul pelibatan militer dalam operasi militer selain perang (OMSP) tanpa perlu persetujuan DPR.
Selain itu, mereka juga mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk memodernisasi alutsista, memastikan TNI adaptif terhadap ancaman eksternal, meningkatkan kesejahteraan prajurit, memperhatikan keseimbangan gender dalam organisasi TNI hingga jaminan lingkungan kerja yang aman dan bebas dari diskriminasi.
Berikut ini lengkapnya petisi yang mereka bacakan:
Pemerintah telah menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi UU TNI kepada DPR, 11 Maret 2025. DIM itu bermasalah. Terdapat pasal-pasal yang akan mengembalikan militerisme (Dwifungsi TNI) di Indonesia.
Kami menilai agenda revisi UU TNI tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional. Justru akan melemahkan profesionalisme militer. Sebagai alat pertahanan negara, TNI dilatih, dididik dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi non-pertahanan seperti duduk di jabatan-jabatan sipil.
Dalam konteks reformasi sektor keamanan, semestinya pemerintah dan DPR mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Agenda revisi UU ini lebih penting ketimbang RUU TNI, karena agenda itu merupakan kewajiban konstitusional negara untuk menjalankan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) bagi semua warga negara, tanpa kecuali. Reformasi peradilan militer merupakan mandat TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.
Kami menilai RUU TNI akan mengembalikan Dwifungsi TNI, yaitu militer aktif menduduki jabatan-jabatan sipil. Perluasan penempatan TNI aktif itu tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi warga sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda. Selain itu, merebut jabatan sipil dan memarginalkan ASN dan Perempuan dalam akses posisi-posisi strategis.
Perluasan jabatan sipil dalam RUU TNI itu diantaranya adalah dengan menempatkan militer aktif di Kejaksaan Agung hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ingat: TNI adalah alat pertahanan negara untuk perang; sedangkan Kejaksaan Agung, adalah lembaga penegak hukum. Maka, salah jika anggota TNI aktif duduk di institusi Kejaksaan Agung. Dan salah, jika ingin menempatkan militer aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dua contoh itu cerminan praktik dwifungsi TNI.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.