Guru Besar Unpad Soal Penghapusan Kewenangan MPR Tetapkan GBHN: Tujuan Negara Jadi Tak Jelas
Utusan Daerah jauh lebih strategis dan signifikan ketika ikut ambil bagian di dalam merumuskan GBHN dibandingkan dengan kewenangan DPD saat ini
Penulis:
willy Widianto
Editor:
Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Universitas Padjajaran Bandung, Prof Dr I Gde Pantja Astawa menyatakan jika penyelenggaraan pemerintahan Negara saat ini tidak mempunyai maksud, arah dan tujuan yang jelas.
Pasalnya, tidak ada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi blue print dan kompas bagi Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi, yang ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.
"Ketiadaan atau dihapuskannya (Amandemen) wewenang MPR menetapkan GBHN menyebabkan Negara ini tidak memiliki cetak biru di dalam membangun Negara sehingga arah dan tujuan Negara pun tidak jelas. Mau dibawa kemana Negara ini?," tegas Prof Gde, sapaan akrabnya saat 'Seminar Mengembalikan Marwah MPR RI sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat' yang diselenggarakan Yayasan Caritas Merah Putih di Jakarta, Jumat(7/2/2025).
Selain ketentuan Pasal 3 UUD 1945 mengenai GBHN, Prof Gde juga menyinggung beberapa pasal dalam UUD 1945 yang diamandemen MPR RI. Diantaranya Pasal 1 ayat (1), Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 6 UUD 1945 yang telah diamandemen MPR RI.
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 misalnya, dimana disebutkan jika 'Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat'. Ketentuan ini menegaskan bahwa salah satu pilar bangunan Negara Republik Indonesia adalah kedaulatan rakyat.
Baca juga: PDIP Usul MPR Berwenang Tetapkan GBHN Lewat Amandemen UUD 1945, Ini Alasannya
"Secara harfiah, ketentuan Pasal 1 ayat (1) itu berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat," kata Prof Gde.
Pasal 2 ayat (1), bahwa 'Majelis Permuayawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan masing-masing'.
Dimana diatur susunan keanggotaan MPR yang mencerminkan perpaduan antara political representation yang diwakili DPR dan functional representation yang diwakili oleh Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Sehingga susunan keanggotaan MPR memperlihatkan wajah MPR sebagai penjelmaan rakyat.
"Utusan Daerah jauh lebih strategis dan signifikan ketika ikut ambil bagian di dalam merumuskan GBHN, daripada kedudukan dan kewenangan yang dimiliki DPD sekarang yang nyaris tidak jelas kinerjanya," tegas Prof Gde.
Selanjutnya Pasal 6 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa 'Presiden ialah orang Indonesia asli'. Menurut Prof Gde, ketentuan ini mengandung prinsip Equality before the law and goverment.
Meskipun segala warga negara memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih Presiden, namun tidak semua warga negara memenuhi persyaratan untuk dipilih menduduki jabatan Presiden. Terutama jika yang bersangkutan bukan orang Indonesia asli.
Sementara itu Akademisi Hukum Tata Negara Muhammad Rullyandi mengatakan, pasca perubahan rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 oleh MPR RI, kini tidak lagi menempatkan MPR sebagai pelaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat.
"Rakyat sudah merasakan implikasi dari perubahan tersebut, terutama tidak terkontrolnya keputusan politik kenegaraan," kata dia.
Tidak terkontrolnya keputusan politik kenegaraan dimaksud, kata Rullyandi, terlihat dari keputusan yang seharusnya berorientasi pada keadilan sosial dan kepentingan umum. Belakangan menjadi lebih mengedepankan pada asas permusyawaratan.
"Realitasnya justru lebih mengara pada praktek demokrasi yang liberal dan pragmatisme politik, praktek-praktek yang sejatinya tidak sejalan dengan gagasan para pendiri negara," ucapnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.