Kamis, 2 Oktober 2025

Wacana Koruptor Dimaafkan

Pengamat Sebut Pemberian Maaf Prabowo ke Koruptor Perlu Dibarengi Tindakan Nyata

Komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi di era kepemimpinannya patut dinantikan. 

Penulis: Chaerul Umam
Setpres
Presiden Prabowo Subianto. Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli menyebut pidato dan kebijakan Prabowo perlu dibarengi dengan tindakan nyata.  

Pieter Zulkifli berharap Prabowo benar-benar memahami beratnya tanggung jawab seorang kepala negara. 

"Indonesia butuh pemimpin yang berani, tegas, dan berpihak pada rakyat, bukan sekadar pidato kosong di podium internasional," tandasnya.

Penjelasan Menteri Hukum

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, pelaku tindak pidana korupsi atau koruptor tidak serta merta mendapatkan amnesti ataupun grasi. 

Ia menjelaskan meskipun Presiden RI Prabowo Subianto memiliki hak untuk memberikan pengampunan kepada koruptor, tetapu tetap melalui proses pengawasan oleh Mahkamah Agung (MA) terkait grasi, serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal pemberian amnesti.

“Kalau melakukan grasi wajib minta pertimbangan ke MA. Sedangkan untuk amnesti, itu ke DPR. Artinya, perlu ada yang mengawasi sehingga adanya pertimbangan dari kedua institusi,” kata Supratman dalam keterangannya, Kamis (26/12/2024).

Mantan Ketua Badan Legislasi DPR ini menerangkan kalau pemerintah Indonesia akan mengupayakan hukuman yang maksimal bagi koruptor

Di samping itu, pemerintah juga menekankan aspek pemulihan aset dalam kasus tindak pidana korupsi.

“Pemberian pengampunan bukan dalam rangka membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak. Karena yang paling penting, bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan. Kemudian kalau asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal. Presiden sama sekali tidak menganggap (pengampunan koruptor) dilakukan serta merta,” ujar Supratman.

Menteri Supratman mengungkapkan pemberian pengampunan kepada koruptor maupun pelaku kejahatan lainnya adalah hak kekuasaan yudikatif, tetapi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) memberikan hak konstitusional kepada presiden untuk memiliki kekuasaan yudisial tersebut. 

Sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan yudisial yang melekat kepada presiden sebagai kepala negara itu bersifat absolut. 

Kemudian pasca-amandemen UUD 1945, kekuasaan presiden tidak absolut. 

Presiden perlu meminta pertimbangan kepada MA dan DPR.

"Karena itu supaya keputusan yang diambil, apa itu grasi, amnesti, atau abolisi, ada aspek pengawasannya. Tidak serta-merta presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan kedua institusi tersebut,” kata Supratman.

Selain presiden, kewenangan memberikan pengampunan kepada koruptor dan pelaku kejahatan lainnya juga diberikan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui denda damai. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved