Jawab Kejanggalan, Mengurai Dasar Hakim Vonis Bersalah Jessica Wongso Meski Tanpa Bukti Langsung
Dokumenter Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso, membuat sebagian netizen yakin Jessica Wongso tak bersalah. Putusan hakim dipertanyakan.
TRIBUNNEWS.COM - Jessica Kumala Wongso dinyatakan bersalah dan divonis 20 tahun penjara atas pembunuhan Mirna Salihin bukan berdasarkan bukti langsung atau indirect evidence.
Dengan kata lain hakim murni membuat keputusan berdasarkan perkiraan yang diyakininya.
Sebab, tak ada satu pun saksi melihat Jessica Wongso memasukkan racun sianida ke dalam gelas berisi kopi vietnam yang diminum Mirna Salihin.
Hal itulah yang kemudian menjadi salah satu yang diperdebatkan di kalangan netizen seiring tayangnya film dokumenter berjudul Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso di Netflix.
Bahkan ada yang menyebut Jessica tidak bersalah, namun dijadikan kambing hitam atas kematian Mirna.
Keputusan hakim terhadap Jessica sebagai terdakwa dinilai tidak tepat.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej yang menjadi saksi ahli kasus kopi sianida pada 2016 silam, tidak sepakat dengan penilaian tersebut.
Ia menegaskan bahwa keputusan hakim sudah tepat dan Jessica bersalah.
Baca juga: Hotman Paris Ungkap Satu-satunya Cara Bebaskan Jessica Wongso dari Penjara Meski Terlihat Bodoh
"Kan kita belajar alat bukti itu banyak, tidak mesti yang namanya perkara itu direct evidence. Direct evidence bahasa awamnya, saya lihat loh dengan mata kepala saya sendiri. Biasanya disebut saksi mata. Itu tidak ada," kata Prof Edy, sapaan akrabnya saat bicara di podcast Curhat Bang Denny Sumargo.
Tapi, lanjut dia, bukan berarti tidak ada kasus pidana dalam peristiwa itu. Ia lantas memberi penjelasan secara terstruktur.
"Kausalitasnya sudah terjawab. Mirna mati, mati karena apa, meminum kopi. Mengapa Mirna mati minum kopi, karena di dalamnya ada sianida. Hard evidence yang digunakan oleh polisi ada 30 jenis," ucap dia.

Menurut dia, keresahan publik saat ini adalah karena tidak ada yang melihat Jessica memasukkan racun sianida.
"Itu saja, dan itu sebetulnya terjawab (dalam sidang)" ucap Prof Edy.
"Mirna mati minum kopi, minum kopi karena di dalamnya ada sianida. Maka pertanyaan lebih lanjut posibility suspectnya siapa? Artinya paling tidak, orang yang bersentuhan dengan kopi itu."
"Maka kita lihat, ada beberapa orang, satu Rangga sebagai barista, Agus sebagai pramusaji, Tiga Jessica, empat Hani yang datang bersama Mirna. Hani diignore karena datang bersama Mirna. Tinggal bertiga," ucap Prof Edy.
Dijelaskannya, sesaat peristiwa itu terjadi, orang yang bekerja di kafe Olivier diamankan. Mereka antara lain Rangga, dan Agus, dan Devi.
"Mereka diperiksa penyidik yang berbeda, pada ruang yang berbeda agar tidak kongkalikong."
"Ini yang saya katakan, polisi tidak langsung loh menentukan Jessica (tersangka). Itu beberapa kali dilakukan olah TKP, kemudian mendengar keterangan saksi, baru setelah semua dihimpun, baru digelar perkara, baru menentukan (tersangka)."
Saat pemeriksaan, jawaban mereka sama atas satu pertanyaan. Pertanyaan itu adalah mengenai standar operasional kalau ada seseorang memesan es kopi Vietnam.
Kemudian saksi ahli, yakni ahli Toksikologi Labfor Polri Dr Nur Samran Subandi dan ahli Toksikologi Universitas Udayana Bali, I Made Agus Gelgel, melalukan eksperimen untuk menentukan siapa yang paling berpotensi sebagai tersangka.
Pertama, Rangga adalah barista yang membuat kopi.
"Jadi kopi, gula, susu, dikasih sianida, begitu dikasih air panas, seisi kafe Olivier keluar karena menyengat. Berarti Rangga di-ignore, tidak mungkin dia menaruh racun," jelas Prof Edy.
Sebab, saat Rangga membuat kopi hingga siap disajikan tidak ada reaksi apapun.
Ia juga membenarkan teori ahli forensik Dokter Djaja Surya Atmadja yang menyebut sianida dalam jumlah besar akan bereaksi buruk pada pengunjung.
"Tapi dengan konteks kalau Rangga (barista) yang memasukkan racun itu," ucap Prof Edy.
Kemudian Agus sebagai pramusaji saat mengantar pesanan es kopi vietnam ke meja Jessica juga tidak terjadi reaksi apapun. Itu diketahui dari CCTV.
"Mulai dia mengantar, meletakkan di atas meja dan menuangkan kopi itu ke dalam gelas yang telah berisi es batu. Yang tidak diapa-apakan hanya tisu dan sedotan. Itu terlihat semua CCTV, dia juga di-ignore karena tidak kenapa-kenapa. Eksperimen Gelgel menggugurkan Agus dan Rangga sebagai suspect," ucap Prof Edy.
Kala itu hanya Jessica yang ada di meja. Mirna dan Hani belum datang.
Seorang pelayan bernama Marlon yang mengantar pesanan lain ke meja Jessica, dalam kesaksiannya sudah melihat sedotan ada di gelas berisi kopi Vietnam yang memang dipesan untuk Mirna.
Dan satu-satunya orang yang berpotensi memasukkan sedotan ke gelas berisi kopi dan es, hanya Jessica.
Meski pada CCTV tidak terlihat Jessica memasukkan sedotan ke dalam gelas yang diduga sebagai cara masuknya racun ke dalam gelas berisi kopi, tapi ini berkesesuaian dengan eksperimen Samran dan Made Gelgel.
Made Gelgel dan Samran bereksperimen ketika kopi panas dituangkan gelas berisi es, ditaruh racun sianida, ternyata tidak menyengat dan warnanya seperti kunyit.
"Warna itu yang sama persis dengan barang bukti isi sisa kopi yang disita sesaat terjadi peristiwa," ucap Prof Edy.
Dan eksperimen itu mengarah pada Jessica yang dicurigai sebagai orang yang menaruh sianida, mengingat racun itu tidak menimbulkan bau menyengat saat dicampur air dalam suhu dingin.
Dari eksperimen itu diketahui kapan racun itu dimasukkan dalam gelas.
"Itulah yang saya katakan scientific evidence bisa merangkai berbagai peristiwa," kata Prof Edy.
Kecurigaan terhadap Jessica semakin kuat karena gesturnya yang janggal ketika Mirna merasaa tidak nyaman setelah meminum es kopi vietnam.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan kasus Kopi Sianida tahun 2016, Shandy Handika, yang juga hadir bersama Prod Edy di Podcast Bang Denny Sumargo, angkat bicara soal itu.
"Setelah Mirna minum, dia bilang ini apa, ini apa. Dia langsung kibas-kibas. Setelah itu dia tawarkan ke jessica, jessica menolak," ucap Shandy.
"Yang mencicipi justru hani, dia mencicipi (dengan sedotan) bukan minum. Kok rasanya enggak enak, dan baunya tidak enak," sahut Prof Edy.
Karena ada masalah dengan Mirna, Devi seorang pegawai kafe datang ke meja untuk mengetahui keadaan.
Spontan Jessica menyampaikan pertanyaan tanya ke Devi.
"'Kalian taruh apa di minuman Mirna. itu yang saya katakan dari teori paralinguistik ada reaksi negatif seperti itu alam bawah sadar yang muncul," kata prof Edy.
kala itu, bukan hanya Hani yang mencicipi, tapi juga Rangga dan Devi, dua pegawai kafe ikut mencicipi.
Rangga dan Devi juga merasakan hal yang sama dengan Hani.
Shandy kemudian menjelaskan bahwa Hani, Rangga, dan Devi tidak bernasib sama seperti Mirna, karena hanya mencicipi sebatas lidah dan tak melanjutkan minum.
Untuk meyakinkan putusan hakim sudah tepat, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan kasus Kopi Sianida tahun 2016, Shandy Handika, juga menjawab soal kejanggalan sampel cairan lambung Mirna yang diambil 70 menit setelah kejadian dan diuji hasilnya negatif sianida.
Menurut dia, yang disampaikan ke publik di podcast dan di film dokumenter Netflix itu tidak lengkap.
"Karena itu hanya diambil sisa cairan 0,1 ml, dan untuk menguji ada PH, ada sianida, ada arsenik, ada kafein, itu butuh lebih banyak sample.Ssample 0,1 hanya cukup untuk satu pengujian PH saja."
"Sisanya tidak diuji karena memang enggak cukup sisa lambungnya. Tapi keluar dari hasil lab negatif, karena memang tidak diuji, jadi yang disampaikan itu seolah tidak diuji. Tapi tidak ada, Ini belum diuji," ucap Shandy.
Prof Edy juga membantah perihal tidak adanya autopsi terhadap tubuh Mirna untuk mengetahui penyebab kematiannya.
"Jadi rentang waktu dari tanggal 6-9 Edi Salihin (ayah Mirna) menolak untuk anaknya diautopsi. Dirkrimum waktu itu Kombes krishna murti mengatakan kepada keluarga, kalau tidak diautopsi kita tidak akan tahu apa penyebab kematian Mirna. Maka di tanggal 10 itulah dilakukan autopsi," terang Prof Edy.
Shandy menambahkan bahwa yang dilakukan adalah autopsi parsial, bukan menyeluruh.
Namun, menurut Prof Edy, yang kebetulan sebagai dosen mata kuliah forensik, autopsi yang dilakukan sudah cukup untuk mengetahui bahwa racun sianida memang ada dalam tubuh Mirna.
"Dalam berita acara yang tim itu dimpimpin oleh dokter Musyafa, itu dada Mirna dibelah, lambung diambil, hati itu diambil, empedu diambil, pada organ-organ itu sudah ditemukan sianida, maka tidak perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Barang yang dicari sudah ada. sudah ditemukan," terang Prof Edy.
Shandy kemudian menguatkan bahwa racun sianida memang ada di tubuh Mirna melalui pernyataan spesialis forensik Slamet Purnomo.
"Kalau enggak salah dokter Slamet Purnomo, intinya adalah rongga mulut dan kerongkongan Mirna itu korosif. lambungnya korosif, hasil autopsi begitu," ucapnya.
"Kalau Mirna tak minum racun kenapa mulut dan kerongkongannya korosif. itu kan pasti lewat sini (tangan mengarah dari mulut ke kerongkongan) karena minum vietnam ice coffee. Dokter Purnomo di persidangan kalau tidak salah menyatakan dia itu saking banyaknya racun yang dia minum, belum sampai bawah sudah apfiksia, langsung kehabisan napas."
"Saya lihat videonya dua menit setelah minum langsung kolaps. Saking banyaknya racun di situ, dia tidak bisa lagi bertahan menahan efek racun itu. enggak perlu tunggu lama."
"Ini harusnya jangan berhenti di 0,2, karena 0,2 itu ditemukan 3 hari setelahnya dan itu setelah melalui proses embalming pembalseman. Dan itu ada penguraian, racun itu terurai pada saat embalming. Bisa jadi itu pun terurai yang tadinya banyak," terangnya.
"Saya tambahkan lagi, kalau racun itu tidak sedemikian banyaknya, setelah diembalming atau balsem pasti nol. Ada ahli yang mengatakan karena racun sangat banyak makanya setelah tiga hari pun embalming pun masih ada 0,2. harusnya nol," lanjut Shandy.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.