Pilpres 2024
Respons Demokrat Presiden Jokowi Kumpulkan 6 Ketua Umum Parpol: Bolehkah Istana Berpolitik Partisan?
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Demokrat, Rachland Nashidik, bicara soal Joko Widodo yang mengumpulkan enam ketua partai politik di Istana
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Demokrat, Rachland Nashidik, bicara soal Presiden Joko Widodo yang mengumpulkan enam ketua partai politik di Istana Negara dan kemudian mengaitkannya dengan kegiatan politik partisan.
Mulanya, dia menjelaskan bahwa ketika Presiden Jokowi dikritik publik karena kegiatan tersebut, para pembela Jokowi membandingkannya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menggunakan Istana Negara untuk tempat pernikahan putra-putra SBY.
Menurutnya, argumentasi semacam itu gagal mendorong perdebatan publik menjadi produktif.
"Sebenarnya, ada sejumlah perkara berbeda yang dicampuraduk seolah memiliki makna yang sama saja, dalam perdebatan tersebut. Itulah aktivitas pribadi Presiden, personalisasi jabatan, kegiatan pemerintahan atau layanan publik dan kegiatan politik partisan," kata dia dalam keterangan yang diterima, Rabu (10/5/2023).
Rachland lalu menjelaskan bahwa pekerjaan Presiden adalah 24 jam sehari, dan karena itulah, negara memberi rumah di dalam Istana Negara.
Dia menilai bahwa aktivitas pribadi Presiden di istana negara pada dasarnya tidak dilarang, termasuk ke dalamnya menyelenggarakan akad nikah atau resepsi pernikahan keluarga Presiden, baik untuk dirinya sendiri maupun anggota keluarganya.
"Sebagai contoh, dalam sejarah White House, sudah pernah diselenggarakan 19 kali akad nikah dan 4 kali resepsi pernikahan keluarga Presiden. Terbaru, pada November 2022, Presiden Joe Biden menyelenggarakan pernikahan cucunya di Istana Kepresidenan Amerika Serikat itu. Dengan kata lain, publik Amerika tidak memandang kejadian itu sebagai pelanggaran etika politik," kata Rachland.
"Dari contoh itu, kita bisa belajar bahwa apa yang sekurangnya terasa problematik dari sisi etika politik, bukanlah kegiatan pribadi Presiden di dalam istana negara," tambahnya.
Kemudian, Rachland mencontohkan seorang Presiden yang menggunakan rumah pribadinya sebagai tempat untuk berpolitik atau bahkan menyelenggarakan kegiatan negara dan pemerintahan.
"Tentang itu, kita bisa memetik pelajaran dari masa Orde Baru. Saat itu, Presiden Soeharto seringkali membicarakan, mengambil dan mengumumkan kebijakan pemerintah di rumah pribadinya di Jalan Cendana," katanya.
Dia menyebut bahwa saat itu kegiatan Soeharto di Jalan Cendana sangat dikiritik oleh para aktivis pro-demokrasi sebagai personalisasi jabatan.
"Presiden Soeharto membuat rumah pribadinya seolah istana negara, cerminan kegagalannya memisahkan kegiatan pribadi dari kegiatan jabatan sebagai Presiden atau kepala negara. Tapi, perlu diingat, kritik ini tidak menyebut ke dalamnya kegiatan Soeharto di Jalan Cendana selaku Ketua Dewan Pembina Golkar, yang jauh lebih berkuasa dari Ketua Umum Golkar," katanya
Namun, dia menilai hal tersebut tidak terasa problematik jika Presiden melakukan kegiatan politik partisan di kediaman pribadinya sendiri, atau tempat lain yang bukan bagian dari fasilitas negara.
Baca juga: Ali Mochtar Ngabalin Minta Benny K Harman Belajar Diksi Lagi: Nggak Usah Pakai Ancam-ancam Perang
"Sebaliknya, problem sungguh terasa, sekali lagi dari sisi etika politik, apabila Presiden menggunakan otoritas negara dan fasilitasnya untuk kegiatan politik partisan. Misalnya untuk mempengaruhi pemilu atau mengarahkan partai partai politik untuk berkoalisi berikut menetapkan siapa capres dan cawapresnya," ujar Rachland.
Menurutnya, ini berhubungan dengan public trust dan layanan publik adalah inti dari penyelenggaraan pemerintahan.
"Layanan publik harus fair dan efektif, dan karena itu perlu bersifat imparsial, agar mendapat kepercayaan publik yang cukup. Itu makanya Presiden harus memisahkan kegiatan politik partisan dari kegiatan negara atau pemerintahan, agar terdapat cukup kepercayaan publik kepada pemerintahan yang dipimpinnya dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya," kata dia.
"Tanpa adanya public trust, maka pemerintahannya tidak bisa efektif, selalu diwarnai penentangan atau gugatan, karena dinilai tidak fair," tandasnya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumpulkan enam Ketua Umum Partai Politik (Parpol) pendukung pemerintah di Istana Kepresidenan, Jakarta pada Selasa malam, (2/5/2023).
Mereka yang hadir yakni Plt Ketum PPP Muhamad Mardiono, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar.
Adapun pertemuan berlangsung lebIH dari dua jam yakni dari pukul 19.00-21.30 WIB.
Partai Demokrat
Rachland Nashidik
Presiden Joko Widodo
Istana Negara
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
Pilpres 2024
PTUN Tunda Pembacaan Putusan PDIP soal Penetapan Gibran Cawapres, Mahfud Pesimis Bakal Dikabulkan |
---|
VIDEO Pembacaan Putusan Gugatan PDIP Soal Pencalonan Gibran di PTUN Ditunda Jadi 24 Oktober 2024 |
---|
Jubir PTUN: Penundaan Pembacaan Putusan Gugatan PDIP soal Gibran Tak Terkait Pelantikan Presiden |
---|
Hakim Sakit, PTUN Tunda Baca Putusan Gugatan PDIP hingga Setelah Pelantikan Prabowo-Gibran |
---|
BREAKING NEWS PTUN Tunda Pembacaan Putusan PDIP Gugat KPU soal Penetapan Gibran jadi Cawapres |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.