Polisi Tembak Polisi
Sidang Lanjutan Kasus Brigadir J Hari Ini, Richard Eliezer akan Hadirkan Saksi yang Meringankan
Sidang lanjutan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J kembali digelar pada Senin (26/12/2022) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
TRIBUNNEWS.COM - Sidang lanjutan kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J kembali digelar pada Senin (26/12/2022) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Sidang kasus Brigadir J hari ini, dilaksanakan untuk terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E.
Pihak Bharada E akan menghadirkan saksi yang meringankan atau a de charge dalam persidangan kali ini.
Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara di situs PN Jaksel, sidang pemeriksaan saksi atas terdakwa Bharada E ini digelar di Ruang Sidang Utama, PN Jalsel, mulai pukul 09.30 WIB.
"Nomor Perkara 798/Pid.B/2022/PN JKT.SEL, Jenis Perkara Pembunuhan, Terdakwa RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU, Hari dan Tanggal Sidang Senin, 26 Des. 2022, Jam Sidang 09.30 s/d 16.30."
"Agenda Saksi A De Charge, Ruang Sidang Ruang Sidang Utama," keterangan di SIPP di situs sipp.pn-jakartaselatan.go.id, Senin (26/12/2022).
Baca juga: Kaleidoskop 2022: Perjalanan Kasus Brigadir J, Skenario Ferdy Sambo hingga 11 Orang Jadi Terdakwa
Sebelumnya, informasi jadwal sidang lanjutan terhadap terdakwa Bharada E yang digelar pada Senin ini pun dibenarkan oleh Pejabat Humas PN Jakarta Selatan, Djuyamto.
"Ya betul, besok ada sidang untuk R. Eliezer," kata Djuyamto saat dikonfirmasi Tribunnews.com, Minggu (25/12/2022) malam.
Terkait agenda sidang, Kuasa Hukum Bharada E, Ronny Talapessy, mengungkapkan kini giliran pihaknya menghadirkan ahli meringankan atau a de charge.
Meski demikian, Ronny belum membeberkan identitas ahli yang akan dihadirkan pihaknya.
"Besok (Senin) kita hadirkan ahli dari kita," singkat Ronny.
Sebagaimana diketahui, kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yosua pada 8 Juli 2022 lalu menyeret sejumlah nama.
Termasuk Mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi.
Selain itu, juga mantan ajudan Ferdy Sambo, Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E dan Ricky Rizal.
Kemudian, asisten rumah tangga sekaligus sopir di keluarga Ferdy Sambo, yakni Kuat Ma'ruf.
Mereka didakwa melanggar pasal 340 subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga dijerat perkara obstruction of justice atau perintangan penyidikan kasus Brigadir J.
Ferdy Sambo dijerat bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.
Para terdakwa, disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.
Dalam dugaan kasus obstruction of justice, mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsider Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.

Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi Hadirkan Ahli yang Meringankan Lebih Dulu
Terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi sudah menghadirkan ahli meringankan terlebih dahulu pada persidangan sebelumnya, Kamis (22/12/2022).
Kedua terdakwa menghadirkan Ahli Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Mahrus Ali.
Dalam persidangan, Mahrus mengungkapkan terkait tindak pidana dugaan kekerasan seksual.
Menurutnya, tindak pidana dugaan kekerasan seksual sejatinya harus dibuktikan dengan alat bukti minimal hasil visum dari korban.
Bukti visum itu, diperlukan untuk kepentingan jaksa penuntut umum (JPU) membuktikan tindak pidana yang terjadi.
"Satu-satunya bukti yang biasa dihadirkan oleh Jaksa biasanya visum, tetapi kalau visum ga ada gimana? Pertanyaan saya begini, visum itu gak ada terkait dengan tantangan yang lebih berat yang dihadapi Jaksa untuk membuktikan," kata Mahrus dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Namun, lanjut Mahrus, jika dalam proses pembuktian hasil visum itu tidak dilakukan, bukan berarti tindak kejahatannya menjadi tidak ada.
"Jangan disimpulkan kalau korban tidak melakukan visum tidak terjadi kejahatan," kata Mahrus.
Sebab, kata Mahrus, dalam kasus dugaan kekerasan seksual kerap kali korban yang diduga mengalami tersebut tidak mau melapor.
Mahrus mengungkapkan, ada beberapa faktor yang menjadi pemicunya.
Satu di antaranya, rasa takut karena adanya tekanan dari pihak-pihak lain.
"Karena gini yang mulia, dalam perspektif victimology korban kekerasan seksual itu tidak semuanya punya keberanian untuk melapor, banyak faktor," katanya, dilansir Tribunnews.com.
Baca juga: Penyidik Klaim 5 Flashdisk yang Disita Tidak Ditemukan Informasi Tewasnya Brigadir J di Duren Tiga
Ia menegaskan, hasil visum memang menjadi alat bukti paling utama dalam tindak pidana dugaan kekerasan seksual.
Namun, Mahrus menyebut, jika tidak ada bukti visum tersebut, salah satu upaya yang bisa dibuktikan, yakni hasil tes psikologi yang dilakukan terhadap korban.
"Psikologi bisa menjelaskan itu, apa contohnya? Orang yang diperkosa pasti mengalami trauma, ga ada setelah diperiksa itu ketawa-tawa ga ada, maka gimana cara membuktikan? Hadirkan saksi psikologi untuk menjelaskan itu," jelasnya.
(Tribunnews.com/Suci Bangun DS, Rizki Sandi Saputra)
Simak berita lainnya terkait Polisi Tembak Polisi