Sabtu, 4 Oktober 2025

Kisah Pendamping Korban Kekerasan Seksual: Masih Ada Kendala Akses Layanan Alat Kontrasepsi Darurat

Penggunaan alat kontrasepsi darurat di Indonesia masih mengalami hambatan, khususnya akses yang sulit didapat para penyintas kekerasan seksual.

ISTIMEWA
ilustrasi - Penggunaan alat kontrasepsi darurat di Indonesia masih mengalami beberapa hambatan, khususnya akses yang sulit didapat oleh para penyintas kekerasan seksual. Kendala ini dirasakan secara langsung oleh para pendamping korban selama mendampingi korban kekerasan seksual. 

Situasi di atas berimbas pada panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan obat terkait. 

Padahal, waktu yang panjang dapat memengaruhi efektifitas obat atau alat kontrasepsi darurat tersebut. 

Oleh dr Baety, diterangkan bahwa obat alat kontrasepsi darurat memiliki waktu yang sangat terbatas, yaitu hanya efektif jika digunakan dalam waktu kurang dari 72 jam. 

Lewat dari waktu tersebut, maka obat dikhawatirkan tidak dapat mencegah kehamilan bagi penyintas.

“Kalau lebih dari itu tidak bisa. Tapi tentu harus periksa dulu bahwa pasien tidak hamil, sehingga sebelumnya dilakukan pemeriksaan,” tegasnya.

Situasi inilah, menurut dr Baety perlu adanya penghubung antar instansi. Pihaknya saat ini untuk ke depannya ingin mencoba beraudiensi dengan instansi terkait, untuk memastikan ketersediaan obat. 

Adanya hambatan ini, kata dr Baety, ia sempat mencoba berdiskusi dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), ia menyampaikan kondisi ini.

“Sempat berdiskusi, waktu itu ada kunjungan salah satu rumah sakit yang saya buka pelayanan untuk forensik klinik. Saya sampaikan, kami punya keterbatasan ini dalam akses obat,” paparnya. 

Baca juga: Kasus Kekerasan Seksual Pegawai Kemenkop, Oknum Polisi Diduga Peras Keluarga Korban

Ia pun menanyakan apakah bisa ketersediaan obat tersebut diberikan ke rumah sakit yang memang melakukan layanan untuk korban kekerasan seksual?

Nyatanya pendistribusian obat tersebut mesti dikoordinasikan terlebih dahulu ke Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) karena obat ini termasuk dalam kategori obat Keluarga Berencana (KB).

“Ternyata harus koordinasi dengan BKKBN karena masuk obat KB, jadi tidak bisa,” jelas dr Baety. 

Di sisi lain, ada satu hal yang ditekankan oleh dr Baety yaitu, belum semua rumah sakit terlatih memberikan pelayanan kepada penyintas.

Sehingga tidak semua korban bisa langsung mendapatkan pelayanan.

"Kok di rumah sakit ini tidak mendapatkan layanan sih, padahal saya butuh bantuan. Nah itu dia bisa melakukan komplain supaya layanan di rumah sakit lebih baik. Karena tidak semua dokter atau rumah sakit terlatih untuk menangani korban. Kadang mereka berpikir waduh ini kasus hukum ya, kayaknya kami tidak bisa deh,” ucap dr Baety.

Menurutnya, hal ini dikarenakan masih ada pemahaman, bahwa kasus hukum harus ada dokter forensik. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved