Polisi Tembak Polisi
Saksi Sebut Surat Izin Pistol Bharada Eliezer Dikeluarkan Tanpa Prosedur Atas Perintah Ferdy Sambo
Linggom bercerita kalau dirinyalah yang mengeluarkan izin menggunakan dan memiliki senjata kepada Richard Eliezer dan Yoshua Hutabarat.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Urusan Logistik Pelayanan Masyarakat Polri Linggom Parasian Siahaan dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang lanjutan tewasnya Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J, Senin (28/11/2022).
Linggom dihadirkan jaksa sebagai saksi untuk terdakwa Richard Eliezer atau Bharada Eliezer, Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf.
Dalam persidangan, Linggom yang bertugas pada bagian pemberian izin penggunaan dan kepemilikan senjata anggota Polri mengatakan kalau Ferdy Sambo yang memberikan perintah kepadanya untuk mengeluarkan izin kepada Richard Eliezer.
Mulanya Linggom bercerita kalau dirinyalah yang mengeluarkan izin menggunakan dan memiliki senjata kepada Richard Eliezer dan Yoshua Hutabarat.
Izin senjata keduanya dikeluarkan atas perintah dari Bapak Kayanma Kombes Hari Nugroho," kata Linggom dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (28/11/2022).
Saat itu, Linggom menyebut kalau dirinya mendapat perintah dari Kepala Yanma Mabes Polri Kombes pol Hari Nugroho pada Desember 2021.
Linggom menyebut, dirinya diserahkan selembar kertas oleh Kombes Hari atas nama Brigadir Yosua dan Bharada Eliezer.
"Bapak Kayanma perintahkan saya, ‘Tolong kamu buatkan SIMSA-nya (Surat Izin Membawa Senjata Api). Saya tunggu sekarang'," kata Linggom.
Kemudian, ia memerintahkan anggotanya untuk membuat SIMSA dan mengantar surat itu ke ruangan Kayanma.
Namun keesokan harinya, Kombes Hari kembali memanggil Linggom dan memintanya menyimpan surat senjata api tersebut.
Hal itu didasari karena ada beberapa prosedur yang menurut Kayanma kurang lengkap.
"‘Ini surat senjata apinya kamu simpan kembali karena prosedurnya tidak lengkap. Tidak ada tes psikologi, tidak ada pengantar satuan kerja, dan tidak ada surat keterangan dokter'," kata Linggom meniru percakapan Hari Susanto.
Baca juga: Dalam Sidang, Jaksa Tunjukkan Beberapa Senjata Api yang Jadi Barang Bukti Tewasnya Brigadir J
Akan tetapi, empat hari kemudian Linggom mengaku kembali dihubungi oleh Hari Nugroho untuk mengeluarkan kembali surat senjata api tersebut.
Setelahnya, dia diperintahkan Hari untuk kembali menyerahkan surat tersebut.
Adapun perintah itu kata Linggom turun langsung dari Ferdy Sambo kepada Hari Nugroho.
"Pak Kayanma berbicara kepada saya ‘Barusan saya ditelepon Kadiv Propam, Pak Sambo agar segera tanda tangan'. Setelah itu saya serahkan," ucap dia.
Akan tetapi, kata Linggom sejatinya surat izin tersebut belum disertai tes psikologi, surat pengantar dari satuan kerja (satker), maupun surat keterangan dokter.
Padahal, keseluruhan surat tersebut kata dia, menjadi syarat untuk anggota polri yang hendak memegang dan memiliki senjata api.
“Prosedur untuk mengeluarkan surat izin senjata api, itu wajib ada surat keterangan dari satker, kemudian surat keterangan lulus tes psikologi, kemudian surat keterangan sehat dari dokter,” kata Linggom.
Linggom menuturkan kalau izin penggunaan senjata yang diajukan Ferdy Sambo untuk Eliezer saat itu adalah jenis Glock, sedangkan Yoshua jenis HS.
Diketahui, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.
Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.
Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.
Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.