Hari Pahlawan
Daftar 15 Pahlawan Nasional Wanita: 17 Tahun Perang, Tuli Seumur Hidup hingga Gugur Ditembak Belanda
Berikut daftar 15 pahlawan nasional wanita di Indonesia, ada Cut Meutia hingga RA Kartini.
TRIBUNNEWS.COM - Saat ini total terdapat 200 pahlawan nasional di Indonesia, yang ikut serta memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, serta ikut serta memajukan Bangsa Indonesia.
Termasuk yang terbaru menjelang Hari Pahlawan Nasional 2022, terdapat 5 tokoh Indonesia yang mendapat gelar anumerta tersebut.
Mereka adalah Dr. dr. H. R. Soeharto (Jawa Tengah), KGPAA Paku Alam VIII (DI Yogyakarta), dr. R. Rubini Natawisastra (Kalimantan Barat), H. Salahuddin bin Talabuddin (Maluku Utara) dan K.H. Ahmad Sanusi (Jawa Barat), dikutip dari setkab.go.id.
Di antara 200 pahlawan nasional tersebut, terdapat 15 wanita yang mendapat gelar Pahlawan Nasional berkat jasa-jasa mulianya.
Lantas berikut profil serta sepak terjang 15 Pahlawan Nasional Wanita di Indonesia, dikutip dari kemdikbud.go.id:
Baca juga: 50 Link Twibbon Hari Pahlawan 10 November 2022, Dilengkapi Cara Buat dan Unggah di Media Sosial
1. Fatmawati

Istri dari Presiden pertama RI, Soekarno, ini adalah seorang Ibu Negara Indonesia pertama.
Fatmawati merupakan penjahit Bendera Pusaka sang Saka Merah Putih yang dikibarkan dalam upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta tanggal 17 Agustus 1945.
Dirinya lahir 5 Februari 1923 di Bengkulu, Indonesia dan meninggal 14 Mei 1980 di Kuala Lumpur, Malaysia, di usia 57 tahun.
Ia aktif berorganisasi, pernah menjadi pengurus Nasyla Aisyiah Muhammadiyah sebagai pembaca ayat Al-Qur’an, Paduan Suara (koor), dan Pawai Obor.
Dalam bidang kewanitaan, Fatmawati telah berhasil menjadikan Ny Wakijah Sukijo, Ny Pujo Utomo, dan Ny Mahmudah Mas’ud sebagai anggota wanita dalam kepengurusan KNIP berdasarkan Penpres No. 17 tahun 1949.
Pada 1951, Fatmawati dengan gigih ikut memperjuangkan agar dokumen, barang, dan arsip pemerintah RI yang dirampas oleh Belanda antara tahun 1945-1950 di Jakarta dan Yogyakarta dapat dikembalikan ke Indonesia.
Ia juga turut serta secara aktif dalam memberikan bantuan mengirim perbekalan kepada istri prajurit dan para prajurit yang sedang berjuang di wilayah pertempuran.
Fatmawati merupakan seorang yang gigih berjuang menjadikan eks Karesidenan Bengkulu sebagai Provinsi Bengkulu.
2. Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Seran lahir tahun 1752 di Desa Serang.
Ayahnya adalah Bupati Serang yang kemudian diangkat menjadi Panglima Perang oleh Sultan Hamengkubuwono I.
Saat Perjanjian Gianti tahun 1755, Belanda justru menyerang Desa Serang, pada saat itu Nyi Ageng Serang telah dewasa dan ikut berperang menghadapi Belanda.
Ia tertangkap dan dibawa ke Yogyakarta tetapi dikembalikan lagi ke Serang.
Nyi Ageng Serang kemudian bergabung dengan pasukan Diponegoro (1825-1830).
Saat menjadi pasukan Diponegoro, pasukan Serang yang tangguh pernah ditugaskan Diponegoro untuk mempertahankan daerah Prambanan.
Ketika itu Nyi Ageng Serang sudah tua, sehingga terpaksa dibawa dengan tandu.
Dalam berperang Nyi Ageng Serang menggunakan teknik daun lumbu atau daun keladi hijau.
Pasukannya berkerudung daun lumbu, sehingga dari kejauhan tampak seperti tanaman keladi, namun bila musuh mendekat diserang habis-habisan.
Nyi Ageng Serang meninggal dalam usia 76 tahun pada tahun 1828 dimakamkan di Desa Beku, Kulon
Progo, Yogyakarta.
3. Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu lahir kurang lebih tahun 1800 di Nusa Laut Kepulauan Maluku.
Ia anak sulung Kapitan Paulus Tiahahu.
Umurnya masih 17 tahun ketika dirinya mengikuti ayahnya Kapitan Paulus Tiahahu memberontak melawan kekuasaan Belanda.
Gadis belia ini nahkan berani menenteng senjata, mendampingi ayahnya berjuang di Nusa Laut.
Dengan suatu tipu muslihat Belanda berhasil memasuki BentenBeverdijk pada lONovember 1817.
Martha Khristina Tiahahu meneruskan perjuangansang ayah, yang meninggal dijatuhi hukuman mati oleh Belanda saat itu, dan Martha saat itu sampai masuk ke dalam hutan.
Ia berusaha mengumpulkan pasukan dan menyusun kekuatan baru.
Usaha tersebut berhasil diketahui Belanda sehingga Martha Khristina ditangkap bersarna 39 orang lainnya.
Ia diangkut ke Pulau Jawa sebagai pekerja paksa di perkebunan kopi.
Dalam perjal anan ke Pulau Jawa, di atas kapal Martha Khristina Tiahahu tidak mau bicara, makan, maupun minum.
Sejak saat itu kondisinya semakin lemah dan 2 Januari 1818 ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Jenazahnya terkubur dalam pelukan ombak laut Pulau Nuru dan Pulau Tiga.
4. Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Aceh Besar pada tahun 1848.
Ayahnya bemama Teuku Nanta Setia Ulebalang VI Mukim , seorang Aceh keturunan Minangkabau.
Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga, seorang pejuang Aceh.
Tahun 1873 meletus perang Aceh dan tahun 1875 Belanda berhasil menduduki daerah VI Mukim.
Dalam pertempuran melawan Belanda, suami Cut Nyak Dien meninggal dunia tahun 1878.
Sejak itu Cut Nyak Dien meneruskan perjuangan dan bersumpah untuk membalas kematian suaminya.
Pada tahun 1880 ia menikah untuk yang kedua kalinya dengan kemenakan ayahnya, yaitu Teuku Umar, seorang pejuang Aceh pula.
Berkat kegigihan Teuku Umar dapat merebut daerah VI Mukim dari tangan Belanda tahun 1884.
Teuku Umar gugur 11 Februari 1899.
Sejak itu Cut Nyak Dien terus bergerilya dalam usia 50 tahun.
Setelah enam tahun lamanya Cut Nyak Dien dan pasukannya bergerilya, mereka tertangkap Belanda.
Kemudian dibuang ke Sumedang, Jawa Barat dan meninggal 6 November 1908
5. Cut Meutia

Perempuan yang lahir di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, NAD (Aceh), pada 1870 ini merupakan sosok pejuang.
Cut Meutia sejak kecil diajarkan agama Islam oleh kedua orang tuanya. Ia diajarkan bagaimana menghidupkan amar ma’ruf nahi munkar.
Dirinya adalah seorang Pemimpin Gerilya Aceh yang berperang melawan Pasukan Kolonial Belanda.
Pada Agustus 1902, pasukan Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim Blang Nie.
Dalam penyerangan ini, pasukan Belanda lumpuh total dan para pasukan Chik Tunong dan Cut Meutia berhasil merebut 42 pucuk senapan.
Dalam pertempuran tersebut, suami Cut Meutia, Chik Tunong, gugur.
Ia kemudian melanjutkan perjuangan bersama Pang Nanggroe.
Namun, Pang Nanggroe pun gugur dalam perjuangannya.
Gugurnya pemimpin pasukan tidak memadamkan semangatkan Cut Meutia bersama kaum muslimin lainnya ia terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Cut Meutia mengambil posisi paling depan, pertarungan yang tidak seimbang dari segi jumlah dan persenjataan akhirnya membuat Cut Meutia terbunuh, setelah tiga tembakan peluru menerjangnya.
Cut Nyak Meutia gugur sebagai pejuang bangsa dan agama, pada tanggal 24 Oktober 1910.
6. Rasuna Said

Rasuna Said dikenal sebagai tokoh Pejuang Kemerdekaan Indonesia.
Gerakan kegiatan Rasuna Said selaku wanita muda Islam dari tanah Minangkabau merupakan kejanggalan di zaman itu.
Wanita Minang masih banyak sekali terikat kepada adat dan agama, namun Rasuna, dengan segala keberaniannya telah merintis gerak kaum wanita Minangkabau dengan tidak menyalahi adat dan agama.
Wanita yang lahir pada 14 September 1910 di Maninjau, Agam, Sumatera Barat ini masuk perkumpulan ”Serikat Rakyat” (SR) dan bergabung dalam jajaran pengurus sebagai penulis pada tahun 1926.
SR kemudian menjelma menjadi (PSII) Partai Serikat Islam Indonesia. Disamping itu, ia menjadi anggota PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia).
Pada tahun 1932, PERMI menyatakan dirinya sebagai partai politik. PERMI berubah arti menjadi ”Partai Muslimin Indonesia” dengan haluan radikal non-koperasi (tidak bekerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda).
Usahanya dalam pendidikan telah menyebabkan rakyat di pedesaan mengenal PERMI dengan Rasuna Said-nya.
Pada 17 April 1946 Rasunda Said terpilih menjadi Dewan Perwakilan Sumatera (DPS), melalui sidang.
Lantas, pada 4-6 Januari 1947 ia menjadi anggota yang mewakili Sumatera untuk duduk di dalam KNI Pusat di Jakarta.
Rasuna juga dikenal sebagai Anggota DPR RIS dan juga Anggota DPA 1959.
Dirinya meninggal 2 November 1965 di Jakarta, di usia 55 tahun.
7. Fatimah Siti Hartinah Soeharto

Tien Soeharto atau Ibu Tien sapaan karibnya, lahir pada 23 Agustus 1923 di Desa Jaten, Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
Fatimah Siti Hartinah Soeharto pernah menjabat berbagai posisi kenegaraan.
Antara lain, Ketua Umum Ria Pembangunan, Penasehat Utama Dharma Wanita, Penasehat Utama Dharma Pertiwi, Penasehat Utama Persit Kartika Chandra Kirana, Penasehat Utama Persatuan Isteri Veteran RI (PIVERI), Pendiri/Ketua Yayasan Kartika Jaya, Pelindung Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Pelindung Yayasan Kartini, Pelindung Himpunan Pandu dan Pramuka Wreda (HIPRADA), Pelindung Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI), dan Pelindung Yayasan Jantung Indonesia.
Ibu Tien telah aktif di bidang keorganisasian sejak remaja dengan aktif di dalam Kepanduan (Pramuka).
Lantas pada masa pendudukan Jepang, dirinya pernah menjadi anggota Fujinkai.
Ibu Tien memprakarsai pendirian Perpustakaan Nasional sebagai upaya peningkatan minat baca generasi penerus bangsa.
Ibu Tien juga memprakarsai pembangunan Taman Bunga, Taman Anggrek serta Taman Buah sebagai wujud perhatiannya untuk meningkatkan kesejahteraan petani khususnya petani bunga dan buah-buahan.
8. Laksamana Malahayati

Laksamana Malahayati adalah anak dari Laksamana Mahmud Syah, cucu Laksamana Said Syah dan cicit dari Sultan Aceh, Sultan Salahudin Syah, yang memerintah 1530-1539.
Semangat wira samudra ini merupakan warisan dari ayah dan kakeknya yang juga menjadi panglima angkatan laut Kesultanan Aceh.
Kisah perjuangan Keumalahayati dimulai pascaterjadinya peristiwa pertempuran Teluk Haru antara armada laut Portugis melawan armada laut Kesultanan Aceh.
Setelah kematian suaminya dalam pertempuran Teluk Haru, Malahayati membentuk dan memimpin pasukan Inong Balee yang berasal dari janda para prajurit Aceh yang gugur dalam perang.
Malahayati diangkat menjadi laksamana, wanita Aceh pertama yang menyandang pangkat laksamana.
Pasukan Inong Balee ini mahir menembakan meriam dan memiliki benteng yang berada di bukit berketinggian 100 meter.
Pada 21 Juni 1599, Malahayati memimpin armada laut Kesultanan Aceh untuk menghadapi upaya para pedagang Belanda yang memaksakan kehendaknya dalam perdagangan dengan Kesultanan Aceh.
Peristiwa tersebut menyebabkan Cornelis De Houtman dan beberapa pelaut Belanda tewas.
Dirinya lahir di Aceh Besar pada tahun 1550 dan meninggal dunia pada 1615 M.
9. Maria Walanda Maramis

Wanita kelahiran 1 Desember 1872 di Kema, Sulawesi Utara ini merupakan pendidik dan penggiat hak-hak perempuan.
Sosok pendobrak adat, pejuang kemajuan, dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan.
Maria mendirikan organisasi bernama Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada 8 Juli 1917, dengan tujuan memajukan pendidikan perrempuan Minahasa.
PIKAT didirikan Maria bersama dengan suami, anak, wanita-wanita terkemuka, dan donator organisasi ini.
PIKAT mendirikan cabang-cabangnya di Indonesia. Propaganda mengenai cita-cita PIKAT juga dilakukan dengan tulisan-tulisan Maria di surat kabar.
Pada 1919, Maria berhasil memperjaungkan kaum perempuan Minahasa mendapatkan hak suara untuk memilih wakil rakyat di Minahasa Raad.
Dirinya meninggal tanggal 22 April 1924 di Maumbi, Sulawesi Utara, di usia 51 tahun.
10. Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah)

Dirinya adalah tokoh Emansipasi Perempuan dan tokoh Pembaharu Islam, serta Pendiri dan Pemimpin Aisyiyah.
Ia pernah berpartisipasi dalam diskusi perang bersama Jenderal Sudirman dan Presiden Sukarno.
Baca juga: Presiden Jokowi Resmi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada 4 Tokoh Ini
Lahir dengan nama Siti Walidah, merupakan istri dari pendiri Muhammadiyah dan juga seorang pahlawan nasional, KH Ahmad Dahlan.
Walidah menyertai perjuangan suaminya dalam suka dan duka.
Ia memprakarsai berdirinya perkumpulan “Sopo Tresno” pada 1914 untuk wanita Islam, yang mementingkan 3 bidang yaitu dakwah, pendidikan, dan sosial.
Sopo Tresno kemudian dilebur menjadii “Aisiyah” di tahun 1917, Aisiyah menjadi bagian wanita dari Muhammadiyah.
Aisiyah berkembang, kemudian menyusul berdirinya perkumpulan untuk remaja puteri islam dengan nama “Nasyiatul Aisiyah”.
Dalam bidang sosial, Aisiyah mendirikan badan-badan yatim-piatu, fakir miskin, pemberantasan buta huruf, dan sebagainya.
Ia juga mendirikan asrama puteri yang diselenggarkan di rumahnya, ia memberikan pendidikan keimanan, praktek ibadah, sampai berlatih pidato, dan dakwah.
Nyai Ahmad Dahlan terus melakukan perjuangannya bahkan setelah suaminya meninggal, ia membina generasi muda terutama perempuan islam agar tekun, gigih, dan berpendidikan.
11. Opu Daeng Risadju

Opu Daeng Risadju adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, cendekiawan, wanita politisi pertama.
Dirinya juga berperang melawan Belanda selama Revolusi Nasional.
Oppu Daeng Risaju adalah putri keturunan bangsawan.
Awal abad XX, tahun 1927 ia menjadi anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) cabang Pare-Pare.
Kemudian pada tanggal 14 Januari 1930 ia terpilih menjadi ketua PSII dan sering mengikuti kongres PSII, baik di Sulawesi Selatan maupun di PSII Pusat Batavia.
Opu Daeng bersama kurang lebih 70 orang anggota PSII ditangkap oleh Belanda dan dimasukkan ke penjara Masamba dengan maksud untuk mengurangi aksi-aksi atau gerakan perlawan dan menghadang perluasan ajaran PSII.
Baca juga: Tema Hari Pahlawan 2022: Pahlawanku Teladanku, Simak Logo, Makna, dan Pedoman Pelaksanaan
Pada 1946, Opu Daeng berserta pemuda republik melakukan serangan terhadap tantara NICA dan terjadi serangan balasan kepada pasukan Opu Daenga yang mengakibatkan banyak pemuda yang gugur.
Opu kemudian ditangkap dan dipenjarakan di Belopa yang membuat telinganya tuli seumur hidup.
Opu Daeng dijuluki Srikandi di Tana Luwu dikarenakan perannya dan secara aktif memperjuangkan kebangkitan nasional di Sulawesi Selatan.
12. RA Kartini

Raden Ajeng Kartini (RA) merupakan seorang pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Wanita kelahiran 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah ini aktif menceritakan bagaimana terbelakangnya perempuan-perempuan Jawa melalui surat-surat yang ia kirimkan kepada temannya seorang Belanda Stella Zeehandelar.
Kartini ingin mengangkat derajat kaum wanita melalui pendidikan, agar mereka memperoleh hak yang sama dan kecakapan yang sama seperti kaum laki-laki.
Karena itulah, Kartini dianggap sebagai pelopor emansipasi wanita.
Kartini mendirikan sekolah bagi gadis-gadis di Jepara.
Muridnya hanya sebanyak sembilan orang, terdiri atas kerabat atau teman-temannya.
Pelajaran yang diberikan meliputi menjahit, memasak, menyulam, dan bahasa Jawa.
Dirnya meninggal 17 September 1904 di Rembang, Jawa Tengah, di usia 25 tahun.
13. Raden Dewi Sartika

Raden Dewi Sartika lahir 4 Desember 1884 di Cicalengka, Bandung, Jawa Barat
Ia meninggal pada 11 September 1947 di Tasikmalaya di usia 62 tahun
Dirinya tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita.
Baca juga: Hari Pahlawan, Ketua DPR Sebut Nakes Hingga Tim Thomas Cup Pahlawan Era Kemajuan
Ia mendirikan Sekolah Pertama untuk Perempuan dan membuat tulisan berjudul ”De Inlandsche Vrouw” (Wanita Bumiputera).
Ia mengemukakan, pendidikan penting untuk mendapatkan kekuatan dan kesehatan kanak-kanak, baik secara jasmani maupun rohani.
Dalam tulisan itu, ia menghendaki pula adanya persamaan hak antara laki-laki dan wanita. Untuk pekerjaan yang sama dilakukan seorang wanita, harus diberi pendidikan.
Ia Mendapat penghargaan bintang perak dari pemerintah Hindia Belanda untuk Sekolah Keutamaan Isteri yang didirikannya.
Sekolah Keutamaan Isteri berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi pada 1929.
Kurikulum sekolah pun semakin bertambah, dari membaca, menulis, pelajaran agama, menjahit, menyetrika, memasak, membatik, hingga keperawatan orang sakit.
14. Rohana Kuddus

Rohana Kuddus adalah salah satu pahlawan nasional perempuan yang berasal dari Sumatera Barat, dirinya juga dikenal sebagai seorang jurnalis perempuan.
Rohana adalah salah satu tokoh pendidik sekaligus tokoh pers pertama yang memperjuangkan hak-hak perempuan lewat media cetak melalui koran Soenting Melajoe yang terbit tahun 1912.
Ia memperjuangkan Pendidikan bagi kaum perempuan di Minangkabau dengan mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) dan “Roehana School”
Rohana Kuddus berhasil menyebarkan pengetahuannya seperti yang selama ini diimpikannya lewat surat kabar.
Rohana Kuddus lahir di Koto Gadang Agam, Sumatera Barat, dan meninggal 16 Desember 1972 di Jakarta di usia 88 tahun.
15. Andi Depu

Hj Andi Depu adalah tokoh bangsawan yang pada 1940 menjadi penyokong perkumpulan JIB (Jong Islamiten Bond), disebut juga Perhimpunan Pemuda, yang merupakan organisasi perhimpunan pemuda dan pelajar Islam Hindia Belanda.
Pada 1944, Hj Andi Depu mendirikan organisasi Fujinkai, suatu wadah gerakan yang melibatkan wanita, sebagai tempat pelatihan dan penggodokan semangat juang wanita Mandar untuk ikut berperan dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
Lalu, di tahun 1945, ia menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia di Mandar, sejak itu banyak bendera merah putih dikibarkan oleh masyarakat Mandar.
Dirinya juga yang memperkenalkan bendera nasional merah putih di wilayah Mandar tahun 1942 pada saat diadakan Rapat Raksasa peringatan Hari Sumpah Pemuda di Tinambung.
Ia beberapa kali terlibat pertempuran dan sempat ditahan Belanda.
Ia juga dinobatkan sebagai pemimpin Kerajaan Balanipa ke-52.
Pada tahun 1952, ia turut mengambil bagian untuk membubarkan Negara Indonesia Timur (NIT) bentukan Belanda.
(Tribunnews.com/Garudea Prabawati)