Gerbang Tani Nilai Perlakuan Pemerintah kepada IHT Masih Terkesan Diskriminatif
Salah satu contohnya adalah munculnya data meningkatnya pravalensi merokok pada anak umur 10-18 tahun pada RPJMN 2019-2024.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kebijakan pemerintah terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT) dinilai semakin diskriminatif.
Akibatnya nasib petani tembakau dan pelaku industri hasil tembakau dari hulu ke hilir pun kian terancam.
Ketua Umum Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan Indonesia (Gerbang Tani), Idham Arsyad, menilai tidak ada keberpihakan pemerintah ke Industri Hasil Tembakau bahkan muncul perlakuan yang diskriminatif.
"Walaupun secara faktual industri hasil tembakau memberikan sumbangsih besar ke pendapatan negara melalui cukai dan menyerap banyak jutaan tenaga kerja dari hulu ke hilir bidang pada industri ini,” ujar Idham Arsyad dalam acara Kenduri dan Rembuk Petani Jawa tengah, di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (13/10/2022).
Baca juga: Pengamat UI: Pekerja IHT Terancam Kena PHK Akibat Rencana Kenaikan Cukai Rokok di 2022
Idham menjelaskan kebijakan pemerintah ke industri hasil tembakau kian hari kian eksesif dan mengancam pelaku industri.
Menurutnya pemerintah cenderung lebih mendengarkan masukan-masukan dari kelompok anti tembakau yang pendanaannya disokong lembaga asing dalam menerbitkan regulasi di bidang IHT.
Salah satu contohnya adalah munculnya data meningkatnya pravalensi merokok pada anak umur 10-18 tahun pada RPJMN 2019-2024.
“Akibatnya muncul berbagai kebijakan yang merugikan pelaku IHT karena keinginan menurunkan angka pravalensi merokok pada anak. Padahal berdasarkan BPS data pravalensi merokok pada anak dalam beberapa tahun ini terus menurun. Ini kan aneh ada data salah yang diadopsi dalam RPJMN,” katanya.
Berbagai kebijakan yang merugikan pelaku IHT, kata Idham, tampak dari tingginya kenaikan cukai yang melemahkan serapan panen tembakau dari petani.
Selain itu muncul kebijakan pengalihan tanaman dan pengurangan subsidi pertanian tembakau.
“Situasi ini membuat harga jual hasil IHT tidak optimal sehingga petani mengalami kerugian besar bahkan tak sedikit yang mengalami kebangkrutan,” katanya.
Situasi ini, tegas Idham tidak bisa terus dibiarkan.
Menurutnya IHT masih memiliki peran vital dalam menggerakkan ekonomi nasional.
Hal ini bisa terlihat dari penyerapan tenaga kerja, tumbuhnya industri dan jasa terkait serta bertumbuhnya ekosistem ekonomi di daerah sentra sentra produksi tembakau dan cengkeh.
“Realisasi penerimaan cukai selama lima tahun terakhir juga terus meningkat yakni Rp153,16 triliun pada 2017, Rp159,5 triliun pada 2018, Rp172,42 triliun pada 2019, dan Rp180 triliun pada tahun 2021.
Fakta ini menunjukkan jika sumbangsih cukai dari IHT merupakan penerimaan negara yang cukup besar dan tidak bisa diabaikan begitu saja,” katanya.
Idham mengatakan IHT juga merupakan industry yang mampu bertahan dan tidak melakukan Pemutusan Hubungan-Kerja (PHK) dalam situasi krisis ekonomi.
Fakta ini harus benar-benar dipertimbangkan mengingat pada 2023 mendatang situasi ekonomi global akan semakin berat sehingga masing-masing negara harus berjibaku untuk mengamankan perekonomian nasionalnya.
“Jangan sampai kita terjebak pada narasi pihak asing seperti framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang begitu gigih menyerukan pemusnahan industry hasil tembakau sementara di sisi lain mereka tidak pernah memikirkan dampak ekonomi bagi petani tembakau maupun pekerja di sektor IHT,” katanya.
Ketua DPW Gerbang Tani Jawa Tengah, Chamim Irfani mengatakan rembuk ini merupakan upaya konsolidasi dan mempertemukan perwakilan petani tembakau dan cengkeh di Jawa Tengah guna menjalin kerja sama yang kuat.
Kegiatan ini juga untuk saling menguatkan di antara pelaku IHT dengan melakukan upaya yang lebih konkret secara bersama-sama mengidentifikasi potensi sumber daya masing-masing organisasi dalam kapasitas penataan produksi, budidaya dan praktik pertanian, pengelolaan hasil panen, serta pengembangan pasar dan harga tembakau.
Chamim mengingatkan pemerintah untuk lebih memperhatikan kesejehteraan pekerja IHT.
“Kami minta agar benar-benar diperhatikan dengan sepenuhnya atas dampak yang akan dan dapat terjadi kepada industri, khususnya terhadap terjaganya kesejahteraan pekerja, sampai kepada kepastian kelangsungan pekerjaan bagi pekerja," ujarnya.
Dikatakan bahwa kebijakan pemerintah seharusnya berpihak kepada visi kesejahteraan masyarakat.
"Diantaranya petani, buruh, pedagang, pekerja dan UMKM yang bergerak di industri hasil tembakau,” pungkasnya.