Mengenang 20 Tahun Tragedi Bom Bali dan Kisah Trauma Para Penyitas
Hari ini, Rabu (12/10/2022) tepat 20 tahun yang lalu tragedi bom Bali terjadi. Berikut kisah trauma para penyitas tragedi tersebut.
"Saya tidak pernah bisa melupakan malam itu. (Saya ingat) suara orang menangis dan berteriak 'Tolong saya! Tolong saya!'," kata Agus Bambang Priyanto yang saat itu menjadi relawan Palang Merah.
Dengan api di Legian yang masih berkobar, Priyanto dan para relawa lainnya hanya bisa merawat mereka yang berhasil keluar dari kobaran api.
Saat itu pukul 02.00 ketika petugas pemadam kebakaran berhasil memadamkan api.
"Beberapa korban tewas terbakar habis hingga tak bisa dikenali lagi," kata Priyanto.
"Beberapa direduksi menjadi kerangka sementara sisanya (mayat) benar-benar dibakar. Kami menemukan anggota badan. Kami menemukan kepala yang terpenggal," lanjutnya.
Berjarak 6 kilometer, di RSUP Sanglah, petugas medis dibanjiri ratusan pasien yang datang.

Baca juga: Napiter Bom Bali Umar Patek Dapat Remisi, Kepala BNPT Ungkap Alasannya
"Unit darurat itu seperti pasar. Dalam 20 menit, kami kehabisan cairan infus karena pasien banyak sekali," kata I Gusti Lanang Made Rudiartha, direktur RS saat itu.
"Kamar mayat saya hanya bisa menampung 10 mayat. Jadi ada kantong mayat tergeletak di lorong kami. Kami memiliki begitu banyak pasien yang harus dirawat, kami hanya punya waktu untuk memikirkan apa yang harus dilakukan dengan (mayat) pada hari berikutnya."
Beberapa mayat begitu hangus, tim forensik butuh enam bulan sebelum mereka berhasil mengidentifikasi semua 202 korban.
Istri korban, Nyoman Rencini mengatakan butuh waktu tiga bulan sebelum jenazah suaminya, Ketut Sumerawat, diidentifikasi melalui pencocokan DNA.
Bagi banyak orang yang melarikan diri, trauma psikologis tetap ada.
"Trauma yang tidak kunjung sembuh adalah setiap kali saya terjebak macet," kata Putra, pria yang terjebak di dalam mobilnya di luar Sari Club.
"Tanganku terasa dingin. Saya menjadi paranoid dan tidak bisa tidak berpikir apakah akan ada bom lain dan dari mana ledakan itu berasal. Bahkan sekarang, 20 tahun setelah kejadian itu."
Supeno, asisten manajer Sari Club, mengatakan dia baru berhenti menghadiri sesi psikoterapi tahun lalu.
"Sebelumnya, saya tidak akan berpartisipasi dalam wawancara seperti ini. Membicarakan kejadian itu saja sudah cukup membuatku hancur dan menangis," kata Supeno.