Feri Amsari Beberkan Tiga Hal Penguatan Kekuasaan Kehakiman agar Tak Gampang Terjerat Korupsi
Terlibatnya penegak hukum dalam pusaran hitam korupsi merupakan problematika kekuasaan kehakiman yang masalahnya klasik.
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pegiat antikorupsi sekaligus Pengamat Hukum Tata Negara Feri Amsari, turut menyoroti perihal perkara dugaan korupsi yang menjerat Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) nonaktif Sudrajad Dimyati.
Menurutnya, terlibatnya penegak hukum dalam pusaran hitam korupsi merupakan problematika kekuasaan kehakiman yang masalahnya klasik.
"Dari bermasalahnya struktur hukum atau aparat penegak hukum, cabang kekuasaan kehakiman seperti Mahkamah Agung kan diatur oleh UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka artinya tidak dapat diintervensi oleh siapapun termasuk oleh pelaku suap, yang berperkara orang yang berkuasa, lembaga negara lainnya dll," kata Feri saat dimintai tanggapannya, Rabu (28/9/2022).
Baca juga: KPK Geledah Rumah Pengacara Tersangka Suap Hakim Agung Sudrajad Dimyati
Pernyataan ini sekaligus merespons ungkapan Menkopolhukam Prof Mahfud MD yang menyebut kalau Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) kecewa dengan upaya pemberantasan korupsi di lembaga Yudikatif.
Atas dasar itu kata Akademisi Universitas Andalas tersebut, harus dilakukan pembaharuan konsep atau penguatan kekuasaan kehakiman dalam memastikan sifat kemerdekaan itu.
Setidaknya kata dia ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama yakni harus memastikan proses seleksi tersebut secara fair dan benar.
"Tidak diisi oleh orang-orang karbitan dan bermasalah, hakim agung atau hakim-hakim lainnya adalah orang-orang terbaik, anak bangsa terbaik, lulusan hukum terbaik dan betul-betul mampu dan mengetahui rasa keadilan di masyarakat," ucap Feri.
Upaya itu perlu dilakukan, karena menurut dia sejauh ini proses seleksi kehakiman masih dianggap bermasalah.
Bahkan, dirinya menilai kalau penerimaan kehakiman masih kentara dengan kepentingan politik.
"Masih kentara dengan kepentingan politik. Misalnya pemilihan hakim agung dan hakim konstitusi," tutur dia.
Upaya kedua yakni memastikan kesejahteraan para hakim harus diperbaiki, dengan catatan diperkuat juga dengan punishment atau sanski yang setimpal.
Dalam artian, setiap hakim yang memiliki integritas baik harus dijamin kesejahteraannya.
Akan tetapi sebaliknya, jika hakim tersebut menyimpang, harus diberi sanksi yang berat.
"Jadi mereka disanksi berat kalau menyimpang tapi kalau kemudian mampu menjaga integritas nya dia betul-betul merupakan jabatan yang sangat baik dan mestinya diberi kesejahteraan yang baik pula," katanya.
Adapun yang harus dilakukan selanjutnya yakni dengan memastikan sistem peradilan jauh dari potensi-potensi korupsi.
Hal itu bisa dilakukan dengan untuk mengurangi jumlah hakim agung yang saat ini kata dia sudah over capacity yakni mencapai 50 orang hakim.
Pemangkasan itu perlu, agar publik kata dia bisa mengontrol para penegak hukum dalam hal ini hakim agung dalam menjalankan tupoksinya.
Baca juga: Jadi Tersangka KPK, MA Atur Ulang Majelis Perkara yang Ditangani Hakim Agung Sudrajad Dimyati
"Sehingga dengan begitu publik lebih tau Hakim Agung nya karena jumlahnya sedikit dan bisa diawasi," kata dia.
"Nah sejauh ini kan jumlahnya terlalu banyak orang tidak tahu ini hakim agung atau bukan lalu orang-orang mencoba mencari jalan untuk kemudian menyuap dan mempermasalahkan hakim agung ini," tukasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengungkapkan kekecewaan Presiden Joko Widodo atas upaya pemberantasan korupsi yang selama ini telah dilakukan eksekutif justru kerap gembos di tingkat lembaga yudikatif.
Juga dalam rangka menanggapi pertanyaan media mengenai pernyataan Presiden yang memintanya melakukan reformasi hukum di bidang peradilan pasca OTT hakim agung Sudrajad Dimyati, ia mengatakan Presiden sangat prihatin dengan peristiwa OTT oleh KPK yang melibatkan hakim agung tersebut.
Pemerintah, kata dia, sudah berusaha menerobos berbagai blokade di lingkungan pemerintah untuk memberantas mafia hukum, tapi sering gembos di pengadilan.
Pemerintah, lanjut Mahfud, sudah bertindak tegas, termasuk mengamputasi bagian tubuhnya sendiri seperti menindak pelaku kasus korupsi Asuransi Jiwasraya, Asabri, Garuda, Satelit Kemhan, Kementerian, dan lain-lain.
Kejaksaan Agung, kata dia, sudah bekerja keras dan berhasil menunjukkan kinerja positifnya serta KPK juga berkinerja lumayan.
"Tetapi kerap kali usaha-usaha yang bagus itu gembos di MA. Ada koruptor yang dibebaskan, ada koruptor yang dikorting hukumannya dengan diskon besar," kata Mahfud di akun Instagram resminya, @mohmahfudmd, pada Selasa (27/9/2022).
Ia mengatakan pemerintah tidak bisa masuk ke MA karena beda kamar.
"Mereka selalu berdalil bahwa hakim itu merdeka dan tak bisa dicampuri. Eh, tiba-tiba muncul kasus hakim agung Sudrajad Dimyati dengan modus perampasan aset koperasi melalui pemailitan," kata Mahfud.
"Ini industri hukum gila-gilaan yang sudah sering saya peringatkan di berbagai kesempatan," kata Mahfud.
Untuk itu, kata dia, Presiden Jokowi memintanya sebagai Menko Polhukam untuk mencari formula reformasi di bidang hukum peradilan sesuai dengan instrumen konstitusi dan hukum yang tersedia.
"Presiden kecewa karena usaha pemberantasan korupsi yang cukup berhasil di lingkungan eksekutif, justru kerap kali gembos di lembaga yudikatif dengan tameng hakim itu merdeka dan independen," kata Mahfud.
"Saya akan segera berkordinasi untuk merumuskan formula reformasi yang memungkinkan secara konstitusi dan tata hukum kita itu. Presiden sangat
serius tentang ini," sambung dia.