Stok Stabil, Bulog Sebut Indonesia Berpeluang untuk Ekspor Beras
Bulog menyampaikan stok beras dalam negeri cukup stabil. Bahkan Indonesia berpeluang untuk melakukan ekpor ke negara yang membutuhkan.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Divisi Pengadaan Komoditi Perum Bulog, Budi Cahyanto menyampaikan stok beras dalam negeri cukup stabil.
Bahkan, Budi menyebut Indonesia berpeluang untuk melakukan ekspor beras.
"Untuk beras sendiri, saya pikir stoknya sangat kuat, sangat baik," kata Budi dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 bertema Tantangan Ketahanan Pangan Hadapi Krisis Global di Jakarta, Jumat (19/8/2022).
Saat ini, Budi mengatakan, stok beras di dalam negeri kurang lebih mencapai 1,1 juta ton.
Jumlah ini, kata dia sudah sesuai dengan ketentuan Food and Agriculture Organization (FAO) dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan).
Baca juga: Atasi Krisis Pangan Global, Indonesia Siap Ekspor Beras Rojolele Hingga Mentik Wangi
"Kemudian yang direkomendasikan juga oleh para analis dari Universitas Gajah Mada (UGM), bahwa dengan jumlah penduduk Indonesia kurang lebih 260 juta itu, kita paling tidak memiliki stok 1 sampai 1,5 juta ton," ungkapnya.
Budi mengatakan, dengan jumlah stok yang cukup kuat tersebut, masyarakat Indonesia diharapkan tidak perlu khawatir.
Sebab dengan kondisi demikian, Indonesia bahkan berpontensi melakukan ekspor beras ke negera-negara yang membutuhkan.
Namun, beras-beras yang diekpor harus merupakan beras-beras varian khusus yang hanya ada di Indonesia seperti Pandan Wangi, Rojo Lele dan Mentik Wangi atau beras Mentik. Dimana beras ini tidak ditemukan di tempat lainnya di dunia.
"Kalau itu mungkin tantangan ke depan bagaimana Bulog bisa membuka peluang ekspor ke negara-negara yang memang membutuhkan," tambahnya.
Budi menambahkan, Indonesia merupakan produsen beras terbesar kedua di dunia.
Posisi pertama ditempati China tapi memang konsumsi beras di Indonesia cukup tinggi.
"Produksi pertama itu ada di China, kemudian yang kedua di Indonesia. Jadi menurut saya Indonesia memiliki potensi untuk untuk melakukan ekspor," paparnya.
Baca juga: Diakui Lembaga Internasional Sudah Swasembada, Kementan: Stok Beras Lebih Dari 10 Juta Ton
Dimensi Mengukur Ketahanan Pangan
Pada forum yang sama, Ketua Umum Dewan Pakar DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Agus Pakpahan menyampaikan pandangannya terkait ketahanan pangan dari beragam sudut pandang. Pertama adalah dimensi sumber daya yang memperlihatkan kapasitas atau luas lahan dan penerapan teknologi serta kapasitas kebijakan.
"Sehingga konteks ketahanan pangan kita ukur dari sumber daya yang diterjemahkan ke dalam kapasitas produksi. Ini untuk memenuhi kebutuhan aktual, buat memenuhi kalau ada risiko, dan juga memenuhi kalau misal terjadi ketidakpastian. Seperti perang Ukraina, tsunami atau macam-macam bencana dan lain-lain," paparnya.
Kedua adalah dimensi jangka pendek. Dimensi ini, kata Agus, untuk mengukur bahan kebutuhan pokok lainnya secara menyeluruh.
"Artinya, kalau kita lihat pada komoditas tertentu mungkin kita merasa tahan, tapi kalau totalitas belum tentu juga," bebernya.
Sementara dimensi ketiga, tambah Agus, adalah dimensi entitlement.
Dimensi ini untuk mengukur bahwa keberlimpahan stok bukanlah jaminan masyarakat tidak kelaparan. Seperti yang terjadi di Bangladesh pada 1943.
"Kelaparan Bangladesh pada 1943 dimana kurang lebih 3,8 juta jiwa meninggal dunia bukan karena tidak ada makanan tapi tidak bisa membelinya. Atau kasus minyak goreng baru-baru ini," bebernya.
Baca juga: Kado Spesial Kemerdekaan, Rektor IPB Apresiasi Swasembada Beras Indonesia
Adapun dimensi keempat adalah capability.
Menurut Agus, ketahan pangan penting dilihat dari sudut pandang ini melalui global hunger index.
"Indonesia itu tertinggal dari negara maju lebih dari 50 tahun. GHI kita itu masih 18 poin. Kalau negara maju itu kurang dari 5 poin," pungkasnya.
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia mendapat penghargaan dari International Rice Institute (IRRI) karena dinilai berhasil membuat sistem ketahanan pangan dan swasembada beras.
Pemerintah Indonesia juga dinilai tangguh dalam penerapan inovasi teknologi pertanian. Penghargaan diterima Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Minggu 14 Agustus 2022.
Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Rasio swasembada atau rasio antara produksi dalam negeri dengan total permintaan di Indonesia mencapai 90 persen lebih. Ini merupakan pencapaian yang sangat besar.