Kemenko PMK: Orang Tua Harus Melindungi Anak dari Kejahatan Seksual Online
Seharusnya orang tua dapat mengawasi anaknya saat menggunakan gawai, apalagi pada masa pandemi sebagian besar aktivitas dilakukan melalui gawai pintar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Femmy Eka Kartika Putri mengaku prihatin dengan kejadian pelecehan seksual yang menimpa 11 anak dengan modus game online "Free Fire".
Femmy mengatakan, seharusnya orang tua dapat mengawasi anaknya saat menggunakan gawai.
Apalagi pada masa pandemi, sebagian besar aktivitas anak-anak dilakukan melalui gawai pintar. Mulai dari kegiatan belajar mengajar hingga kegiatan bermain dilakukan di dunia maya.
"Kalau anak-anak tidak didampingi itu bahaya. Akhirnya anak-anak bisa terjerat oleh ajaran-ajaran yang sebetulnya tidak perlu terjadi kalau orang tuanya itu mendampingi anak," ujar Femmy melalui keterangan tertulis, Selasa (7/12/2021).
Femmy mengungkapkan di masa Pandemi Covid-19, anak-anak memang sangat rentan menjadi korban kejahatan melalui media daring.
Frekuensi anak menggunakan gawai saat belajar, bermain game, dan berselancar di dunia maya yang semakin meningkat membuat anak juga semakin berisiko terkena kejahatan daring.
Baca juga: Komnas Perempuan Sebut Kasus NWR Bom Waktu Terbatasnya Layanan Pendampingan Korban Kekerasan Seksual
"Sebagai antisipasi mestinya orang tua harus betul-betul mendampingi anak ketika anak sedang memegang gadget baik untuk kegiatan belajar maupun bermain. Perlu tindakan pencegahan dari orangtua sebagai pelindung utama," ujarnya.
Menurut Femmy, setidaknya ada empat langkah utama yang dapat dilakukan orang tua untuk melindungi anak dari eksploitasi kejahatan seksual melalui game online.
Pertama, orang tua perlu melibatkan diri dan dekat dengan aktivitas daring sang anak, termasuk dalam memahami game online.
Kedua, orang tua perlu mengedukasi diri dan anak mereka terhadap pencegahan dari kekerasan dan eksploitasi seksual yang dapat terjadi melalui game online.
Kemudian yang ketiga, pastikan seluruh perangkat gawai dan komputer saling terhubung dan terlindungi agar dapat memantau aktivitas anak dari berbagai bentuk kejahatan seksual sebagai tindakan pencegahan.
Serta yang keempat, laporkan segala bentuk tindakan kekerasan dan eksploitasi seksual jika orang tua mengetahui kejadian kejahatan seksual anak.
Sebagai tindakan lebih lanjut, dapat menghubungi unit teknis terkait, melalui SAPA 129; TePSA 1500771, Komnas Perempuan: [email protected], dan KPAI.
"Kewaspadaan orang tua agar dapat berperan sebagai pelindung pertama dan utama anak dari kejahatan dunia maya perlu lebih ditingkatkan, khususnya di masa pandemi ini, Saya berharap anak-anak juga dibatasi penggunaan gadget setelah usai jam sekolah," kata Femmy.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu kasus pelecehan seksual melalui game online Free Fire (FF) yang dibongkar oleh Bareskrim Polri.
Pelaku pelecehan seksual anak melalui Game Online FF berinisial S (21) ditangkap polisi di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Baca juga: Pernyataan Komnas Perempuan Terkait Kasus Kekerasan Mahasiswi di Mojokerto, Desak RUU TPKS Disahkan
Setelah ditelusuri ternyata korban berjumlah 11 orang anak yang berusia antara 9 hingga 17 tahun yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Pelaku mengiming-imingi dan memaksa para korbannya untuk melakukan video call sex (VCS) atau memberikan foto tanpa busana dengan menjanjikan akan memberikan korban sekitar 500-600 diamond atau alat transaksi dalam game untuk mengoptimalkan performa permainan.
Atas perbuatannya, tersangka S dijerat Pasal 82 Jo Pasal 76 E Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang.
Kemudian, Pasal 29 Jo Pasal 4 ayat (1); dan/atau Pasal 37 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, serta Pasal 45 ayat (1) 3o Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.