Kamis, 2 Oktober 2025

Pemerintah Sampaikan 8 Poin yang Perlu Dipertimbangkan dalam Proses Pembahasan RUU Kejaksaan di DPR

Omar Sharief Hiariej menyampaikan 8 poin yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembahasan RUU Kejaksaan di DPR RI.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Ilham Rian/Tribunnews.com
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharief Hiariej menyampaikan 8 poin yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembahasan RUU Kejaksaan di DPR RI.

Sebelumnya, pria yang akrab disapa Eddy itu meminta izin untuk membacakan pandangan Presiden atas RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan RI kepada peserta rapat.

Sebagaimana diketahui, kata Eddy, RUU tersebut merupakan inisiatif dari DPR RI dan telah disampaikan Ketua DPR RI melalui surat nomor LG/05186/DPRRI/IV/2021 tanggal 9 April 2021.

Untuk mewujudkan negara hukum sebagaimana diamanatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945, kata Eddy, penegakan hukum dan keadilan merupakan elemen yang vital dan sangat dibutuhkan termasuk penuntutan terhadap para pelanggar hukum atau peraturan perundang-undangan.

Karena itu, kata dia, Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang memiliki tugas dan fungsi di bidang penuntutan memegang peran yang cukup penting dalam menjamin pemenuhan hak-hak dan kepastian hukum yang adil bagi warga negara.

Kejaksaan RI, kata dia, perlu mendapatkan penguatan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya di bidang penuntutan sebagaimana diatur dalam UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI.

Satu aspek penguatan yang diperlukan Kejaksaan RI, kata dia, adalah berkaitan dengan keadilan restoratif.

Baca juga: Komisi III Usul 14 Poin Penyempurnaan dalam RUU Kejaksaan, Termasuk Kewenangan Penyadapan 

Saat ini, kata dia, telah terjadi perubahan paradigma hukum pidana yang tadinya berorientasi pada keadilan retributif namun sekarang bergeser menjadi keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif yang menekankan kepada pemulihan kembali kepada keadaan semula.

Paradigma tersebut, kata dia, telah dimunculkan dalam beberapa ketentuan perundang-undangan di Indonesia seperti dalam UU 11/2012 tentang sistem peradilan pidana anak.

Dalam UU tersebut, kata dia, Kejaksaan diberikan peran untuk mengedepankan dan berpedoman pada keadilan restoratif dalam penegakan hukum.

Dengan demikian, kata dia, penyelesaian sengketa alternatif seperti mediasi penal menjadi salah satu wewenang yang harus dimiliki Kejaksaan.

Metode tersebut, kata dia, merupakan perwujudan dari diskresi penuntutan (prosecutorial discretionary atau opportuniteit beginselen) dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Baca juga: Komisi III DPR RI Setujui Adies Kadir Pimpin Panja RUU Kejaksaan

Berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan sebagai penuntut umum, lanjut dia, International Association of Prosecutors (IAP) bersama dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNDOC) mengeluarkan Guidlines on the Role of Prosecutors yang menjadi salah satu inti dari perubahan UU tersebut.

Guidlines tersebut, kata dia, menjadi pedoman untuk mengatur kembali ketentuan mengenai independensi dalam penuntutan, akuntabilitas penanganan perkara, standar profesionalitas, dan perlindungan bagi para jaksa dan keluarganya yang sebelumnya belum diatur dalam UU Nomor 16/2004.

Karena itu, kata dia, berdasarkan alasan yang telah dikemukakan sebelumnya, perubahan UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan RI menjadi salah satu prioritas utama untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur didukung oleh kepastian hukum yang didasarkan pada keadilan.

Eddy mengatakan poin pertama yang menjadi pertimbangan dalam proses pembahasan tersebut adalah penyesuaian standar perlindungan terhadap jaksa dan keluarganya berdasarkan Guidlines on the Role of Prosecutors.

Baca juga: KPK Hibahkan Barang Rampasan Senilai Rp85,1 M ke Kejaksaan, Kemenkeu, Kemenag, KPU, dan Pemkot Yogya

Kedua, kata dia, pengaturan mengenai intelijen penegakan hukum atau intelijen yustisial.

Ketiga, kata dia, pengawasan barang cetakan dan multimedia dengan menyesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 6-13-20/PUU/VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010.

"Keempat, pengaturan fungsi Advocate Generaal bagi Jaksa Agung," kata Eddy saat Rapat Kerja Komisi III dengan Kementerian Hukum dan HAM RI, Kementerian PAN/RB RI, Kementerian Dalam Negeri RI, dan Kejaksaan Agung di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta pada Senin (15/11/2021).

Kelima, kata dia, pengaturan mengenai penyelenggaraan kesehatan yustisial Kejaksaan.

Keenam, lanjut Eddy, penguatan sumber daya manusia Kejaksaan.

Ketujuh, kata dia, kewenangan kerja sama Kejaksaan dengan lembaga penegak hukum negara lain dam lembaga atau organisasi internasional.

Kedelapan, pengaturan kewenangan Kejaksaan lain seperti memberikan keterangan dan verifikasi tentang dugaan pelanggaran hukum dalam perkara pidana untuk menduduki jabatan publik.

"Berkaitan dengan muatan RUU ini, pada prinsipnya pemerintah menyambut baik dan bersedia melakukan pembahasan secara lebih mendalam dan komprehensif bersama dengan DPR RI sesuai dengan mekanisme pembahasan RUU yang diatur dalam peraturan peundang-undangan," kata Eddy.

Ia mengatakan tanggapan pemerintah mengenai RUU tersebut secara terperinci akan disampaikan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

"Besar harapan kami agar kiranya RUU ini dapat segera dibahas dan mendapatkan persetujuan bersama dari DPR RI seusai dengan tahap pembicaraan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan," kata Eddy.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved