HUT TNI
Imparsial Beberkan 7 Poin Terkait Agenda Reformasi TNI yang Jadi Pekerjaan Rumah Pemerintah
Imparsial membeberkan 7 poin terkait agenda reformasi TNI yang menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah saat ini.
Bahkan, lanjut dia, belakangan ini muncul kembali wacana untuk menempatkan anggota TNI aktif pada jabatan pemerintahan sipil, khususnya kepala daerah, akibat dari kegagalan pemerintah menangani pandemi yang berujung pada penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Secara prinsip, kata Gufron, di antaranya Pasal 39 dan pasal 47 UU TNI telah menegaskan bahwa prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis dan hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Selain itu, kata dia, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN mempertegas larangan penunjukan anggota TNI/Polri aktif menjadi Pj gubernur.
"Dengan demikian anggota militer aktif yang ditunjuk menjadi PJ Gubernur memiliki potensi kuat bertentangan dengan aturan," kata Gufron.
Poin kelima, kata dia, adalah transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan Alutsista TNI rendah.
Menurutnya upaya modernisasi alutsista TNI untuk memperkuat pertahanan Indonesia merupakan langkah penting dan harus didukung.
Baca juga: Kata Istana soal Tantangan Calon Panglima TNI ke Depan, Singgung Transformasi Pertahanan
Namun demikian, kata dia, penting dicatat bahwa langkah tersebut harus dijalankan oleh pemerintah secara akuntabel, transparan, serta dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran dan kebutuhan TNI itu sendiri.
Hal tersebut, kata dia, penting untuk memastikan pengadaan alutsista TNI mendukung upaya penguatan pertahanan negara Indonesia dan tidak memunculkan masalah baru di masa yang akan datang.
Ia juga menyoroti Rencana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang dinilai sejumlah kalangan serampangan karena rencana pembelian yang diusung oleh Prabowo ternyata tidak didasari dasar kajian yang jelas.
Dalam upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan Alutsista, kata dia, pemerintah harus mendorong peran lembaga-lembaga pengawas independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pengawasan dan menginvestigasi penggunaan anggaran pertahanan, atau lebih khususnya dalam pengadaan Alutsista.
Menurutnya, salah satu upaya untuk mendorong peran KPK adalah langkah awal yang harus didorong oleh pemerintah dan parlemen adalah mereformasi peradilan militer melalui revisi UU Nomor 31/1997.
"Meski tanpa menunggu revisi UU tersebut, KPK bisa terlibat dalam pengawasan dan penyelidikan dugaan penyimpangan pengadaan alutsista dengan dasar asas lex specialis derogat lex generalis," kata dia.
Poin keenam, kata Gufron, langgengnya Impunitas dan berlanjutnya kekerasan TNI terhadap pembela HAM.
Baca juga: Pengamat Sebut Survei Calon Panglima TNI Aneh: Itu Hak Prerogatif Presiden, Bukan Ditentukan Publik
Menurutnya berbagai kasus kekerasan itu menunjukkan bahwa reformasi TNI sesungguhnya belum tuntas, khususnya dalam upaya untuk memutus budaya militerististik yang diwarisi dari rezim otoritarian Orde Baru.
Motif dari tindakan kekerasan yang dilakukan oknum anggota itu, kata dia, beragam mulai dari motif persoalan pribadi, bentuk solidaritas terhadap korps yang keliru, sengketa lahan dengan masyarakat, terlibat dalam penggusuran, serta kekerasan terhadap jurnalis dan pembela HAM.