Penanganan Covid
Soal Penetapan Perubahan Leveling PPKM Tiap Daerah, Satgas: Banyak Indikator di Dalamnya
Jubir Satgas Covid, Wiku Adisasmito mengatakan penetapan perubahan PPKM leveling per wilayah itu dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai indikator
TRIBUNNEWS.COM - Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito mengatakan penetapan perubahan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) leveling per wilayah itu dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai indikator.
Termasuk mempertimbangkan kapasitas respons pada tiap daerah.
Sehingga, penetapan perubahan leveling per wilayah tidak hanya melihat dari indikator laju penularan, kasus aktif maupun kematian saja.
Hal tersebut diungkap Wiku dalam konferensi pers secara virtual melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (10/9/2021).
"Indikator leveling daerah tidak hanya dilihat dari laju penularan, kasus aktif atau kematian. Namun juga mempertimbangkan dengan aspek kapasitas respons daerah," kata Wiku.
Baca juga: Penumpang KRL Wajib Tunjukkan Sertifikat Vaksin Covid-19, Berikut Aturan Lengkapnya
Baca juga: Pusat Perbelanjaan Tolak Masuk Ribuan Orang Positif Covid-19
Oleh karenanya, kata Wiku, perubahan pada salah satu aspek belum tentu secara langsung memberikan perubahan yang signifikan.
Apalagi pada penetapan perubahan hasil leveling tiap daerah.
Informasi tersebut disampaikan oleh Wiku saat menanggapi kabar beberapa daerah yang belum melakukan perbaharuan data, bahkan selama 21 hari berlalu.
Meski begitu, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan akan terus mengupayakan koordiansi yang ekstra dengan pemerintah daerah.
Sehingga data-data yang diberikan dapat selalu baru dan dapat digunakan untuk acuan kondisi selanjutnya.
"Untuk itu Kementerian Kesehatan maupun pemerintah daerah harus berkoordinasi aktif untuk sesegera mungkin menyingkronisasikannya dengan harapan data akan semakin interoperable dan mencegah hal sama terjadi di masa yang akan datang," kata Wiku.
Baca juga: Komisi III Apresiasi Penanganan Covid-19 di NTB
Terlepas dari itu, kata Wiku, eveluasi leveling perlu dilakukan, sehingga pencatatan dan pelaporan kasus Covid-19 dapat menjadi acuan dalam perbaikan berkelanjutan.
"Evaluasi leveling itu perlu dilakukan serta kualitas pencatatan dan pelaporan kasus Covid-19 menjadi objek pengamatan dan perbaikan berkelanjutan," kata Wiku.
Termasuk upaya akumulasi data sekitar 21 hari kebelakang.
Sehingga, jika ditemukan perubahan kondisi yang perlu ditindaklanjuti, maka akan segera dapat tertangani.
Jadi, sebaiknya pencatatan data harus selalu ter-update, sehingga dapat menjadi dasar untuk mengetahui kondisi kasus yang terjadi di suatu periode tertentu.
"Jika hendak mengetahui kondisi kasus yang terjadi di suatu periode tertentu, sebaiknya melihat angka kasus dalam periode yang sama," tambah Wiku.
Oleh sebeb itu, Wiku menyebut data adalah aspek krusial dalam mengambil keputusan.
Apalagi untuk mengambil keputusan berskala nasional.
Baca juga: Daftar Daerah PPKM Level 4-2 di Jawa dan Bali, Berlaku hingga 13 Sptember 2021
Sebelumnya, Juru Bicara Vaksinasi Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan saat ini masih banyak provinsi yang belum memperbarui status kasusnya.
Bahkan, status kasusnya belum diperbarui lebih dari 21 hari.
Siti menyebut keterlambatan pelaporan ini terjadi karena terhambat panjangnya prosedur administrasi dalam pencatatan masyarakat yang dinyatakan meninggal dunia akibat terpapar Covid-19.
Prosedur panjang pelaporan tersebut mulai dari tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan hingga Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
Hal tersebut diungkap oleh Siti pada konferensi pers secara virtual di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (8/9/2021).
Baca juga: Daftar Wilayah PPKM Level 2, 3, dan 4 di Luar Jawa-Bali, Berlaku Tanggal 7-20 September 2021
"Meskipun kasus Covid-19 menurun, tapi masih banyak provinsi yang belum memperbaharui status kasusnya yang telah berusia lebih dari 21 hari. Hal ini terjadi karena adanya keterlambatan dalam melakukan input data kematian kedalam sistem."
"Keterlambatan ini terjadi karena adanya prosedur administrasi yang berjenjang yang dibutuhkan mulai dari level RT, RW, kelurahan, kecamatan hingga Dinas Dukcapil untuk menyatakan kondisi seseorang yang telah meninggal," terang Siti.
Selain keterlambatan pelaporan karena prosedur administrasi yang panjang, keterlambatan ini juga terjadi karena adanya keterbatasan dari para tenaga kesehatan.
Para nakes pada saat itu merasa kesulitan karena tidak bisa langsung melaporkan data kematian.
Hal ini terjadi, kata Siti, karena tingginya beban kerja para nakes saat menangani kasus Covid-19.
"Belum lagi adanya keterbatasan dari para tenaga kesehatan yang tidak bisa langsung menginput pelaporan data kematian karena tingginya beban kerja dalam menangani kasus Covid-19 yang tinggi pada saat itu," terang Siti.
Apabila dihitung, presentase kasus yang belum diperbaharui statusnya lebih dari 21 hari yakni sebanyak 25,9 persen dari total kasus aktif yang tercatat.
"25,9 persen dari total kasus aktif yang tercatat adalah kasus yang belum diperbaharui statusnya lebih dari 21 hari," ujar Siti.
(Tribunnews,com/Galuh Widya Wardani)