Sosok Ali Sastroamidjojo Sang 'Eksekutor' Politik Bebas-Aktif dan Relevansinya Hari Ini
Ali Sastroamdijojo merupakan tokoh perjuangan yang pernah menduduki banyak jabatan dalam pemerintahan di awal-awal kemerdekaan Indonesia.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ali Sastroamdijojo merupakan tokoh perjuangan yang pernah menduduki banyak jabatan dalam pemerintahan di awal-awal kemerdekaan Indonesia.
Berdasarkan informasi yang dihimpun sejumlah jabatan pernah diemban lelaki kelahiran Grabag Magelang Jawa Tengah pada 21 Mei 1903 itu.
Di antaranya Wakil Menteri Penerangan (1945), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1947-1949), dan Menteri Pertahanan (1956-1957).
Selain itu, putra dari pasangan Raden Ngabehi Sastroamidjojo dan Kustiah itu juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri (1953-1955, dan 1956-1957), dan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (1960-1966).
Sedangkan di bidang diplomatik, Ali tercatat pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat pada 1950 sampai 1953, Duta Besar Indonesia untuk Kanada pada 1953 sampai 1954, dan Duta Besar Indonesia untuk PBB pada 1957 sampai 1960.
Tak hanya itu, keterlibatannya dalam sejumlah perundingan dengan Belanda di masa-masa awal kemerdekaan dinilai berhasil membawa nama Indonesia ke dunia internasional.
Baca juga: Guru Besar Sejarah UGM: Ali Sastroamidjojo Layak Dipertimbangkan dapat Gelar Pahlawan Nasional
Guru Besar Sejarah Universitas Gadjah Mada Prof Djoko Suryo bahkan menyebutnya sebagai "eksekutor" politik bebas aktif.
Berdasarkan kajian yang dilakukannya, Djoko mengungkapkan Ali termasuk tokoh yang ikut serta menjadi perintis lahirnya organisasi pegerakan nasional di Indonesia dalam perjuangannya pada masa Pra Kemerdekaan
Semasa dia bersekolah, Ali tercatat aktif di organisasi kepemudaan Jong Java dan Perhimpunan Indonesia di Belanda.
Menurut Sartono Kartodirdjo, salah satu sumbangan yang penting dari organisasi Perhimpunan Indonesia yang dipimpin Hatta dan Ali adalah deklarasi yang bernama manifesto kemerdekaan yang intinya menganjurkan kepada pergerakan supaya mencapai pergerakan Indonesia.
Deklarasi tersebut, dinilai sangat berpengaruh kepada pergerakan nasional Indonesia termasuk memberi inspirasi lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928.
Baca juga: Kemensos: Ali Sastroamidjojo Akan Diusulkan Sebagai Pahlawan Nasional Untuk Tahun 2022
Karena aktifitasnya tersebut, lanjut Djoko, Ali pernah ditangkap pihak kepolisian Belanda atas tuduhan menganjurkan rakyat tanah jajahan menggunakan senjata dalam menghadapi pemerintah Belanda.
Namun demikian, Ali dan kawan-kawannya kemudian dibebaskan.
Ali kemudian kembali ke tanah air dan aktif dalam pergerakan-pergerakan nasional dalam organisasi politik.
Masa Revolusi Kemerdekaan yaitu tahun 1945-1949, menurut Djoko, merupakan periode yang sangat penting dalam menjadikan Ali sebagai seorang pejuang republik.
Ketika itu, kata dia, Ali berjasa turut memenangkan Indonesia dalam politik diplomasi dengan pemerintah Belanda melalui perundingan Roem-Roijen, dan Perundingan KMB (Konferensi Meja Bundar).
Perundingan KMB, lanjut dia, merupakan satu perundingan sangat penting pada Agustus 1949 sampai 2 November 1949.
Dalam perundingan yang dimenangkan Indonesia itu, kata dia, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.
Baca juga: Dukung Ali Sastroamidjojo Sebagai Pahlawan Nasional, Ganjar Pranowo Harap Bisa Terlaksana Agustus
Momentum tersebut kemudian menjadi titik awal Indonesia diakui oleh dunia internasional.
Hal tersebut disampaikannya dalam Webinar Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional Ali Sastroamidjojo bertajuk "Peran dan Jasa Bapak Ali Sastroamidjojo Dalam Pemerintahan dan Diplomasi Indonesia" yang disiarkan di kanal Youtube BPPK Kemlu pada Jumat (30/7/2021).
"Karena itu patut di sini dicatat Ali Sastroamidjojo sebagai seorang tokoh pejuang Republik Indonesia," kata Djoko.
Selain itu, kata dia, pada masa revolusi kemerdekaan sebetulnya Ali punya pengalaman-pengalaman penting termasuk ketika ibu kota Rerpublik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Selain itu, kata dia, pada masa perjuangan ibu kota Indonesia di Yogyakarta di masa agresi militer Belanda kedua tanggal 19 Desember tahun 1948, Ali bersama Soekarno, Hatta, dan menteri-menteri lainnya di Gedung Agung Yogyakarta membiarkan dirinya untuk ditangkap serdadu Belanda yang kemudian dibawa terbang untuk dibuang di Pulau Bangka.
Pembiaran diri untuk ditangkap tersebut, lanjut dia, rupanya menjadi kesepakatan setelah mereka mengirim telegram kepada Syafruddin Prawiranegara untuk menjadi pimpinan dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi.
Mereka, lanjut Djoko, membiarkan diri untuk menjadi satu siasat agar kebrutalan pemerintah Belanda terhadap Republik Indonesia diketahui dunia.
Siasat tersebut, kata dia, ternyata kemudian berhasil karena kemudian ketahuan oleh Komisi Tiga Negara yang setelahnya memaksa Belanda dan Indonesia supaya gencatan senjata untuk kemudian melakukan perundingan dengan syarat tawanan-tawanan politik harus dikembalikan dulu pulang ke Yogyakarta bersama pemerintah Republik Indonesia.
Baca juga: Wamenlu Dukung Usulan Ali Sastroamidjojo Sebagai Pahlawan Nasional
"Jadi ini satu strategi diplomasi yang sebenarnya menarik sekali dengan pengalaman Ali Sastroamidjojo pada saat itu," kata dia.
Dengan demikian, kata dia, menarik sekali untuk dipahami bagaimana Ali pada masa itu menjadi anggota delegasi dari perundingan Roem Roijen, dan kemudian dilanjutkan KMB.
"Dan sebagai anggota delegasi itu Ali Sastroamidjojo berjasa untuk memenangkan menjadi diakui oleh Belanda dan dunia," kata Djoko.
Selanjutnya, kata dia, pada 1950-an Ali menjadi tokoh yang betul-betul kekhasan yaitu sebagai pejuang politk bebas aktif ketika dunia sedang dilanda perang dingin antara dua negara adikuasa yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Peristiwa tersebut melahirkan pertentangan pandangan negara Blok Barat dan Blok Timur dalam periode tahun 1950-an sampai 1990-an.
Pada waktu itu, kata dia, Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno, namun kabinet pemerintahan dijabat oleh Ali.
Masa itulah, yang menurutnya merupakan satu periode menarik untuk dicatat ketika Ali berhasil menjabat pemerintahan dalam kabinet.
"Yaitu menjalankan politik bebas aktif yang sebetulnya digagas oleh Moh Hatta tetapi Ali Sastroamidjojo sebagai pelaksana, menjadi eksekutor yang sukses, yaitu Ali Sastroamidjojo dalam menjalankan politik bebas aktif itu melahirkan gagasan serta persiapan, pelaksanaan, sampai terakhir yaitu menyelenggarakan satu konferensi internasional Asia Afrika yang dimulai dari konferensi-konferensi di Kolombo, Bogor, sampai Bandung," kata dia.
Saat itu, lanjut dia, Ali sukses menjadi pimpinan konferensi Asia Afrika dan kemudian melahirkan dengan sukses gerakan Non Blok yang mampu menggalang 29 negara peserta menjadi satu blok yang ingin mencapai perdamaian dunia di tengah perang dingin.
"Sebab itulah sosok Ali Sastroamidjojo dalam hal ini dapat disebut sebagai sosok seorang pejuang politik bebas aktif," kata dia.
Menurut Djoko apa yang dilakukan Ali masih relevan sampai saat ini.
Djoko mengatakan pada hakikatnya situasi Indonesia pada masa kini mirip dengan situasi pada tahun 1950-an.
Pada tahun 1950-an Indonesia dalam pemerintah kabinet Ali secara eksternal maupun internal menghadapi masalah yang kompleks dan disertai dengan masalah-masalah persaingan ekonomi.
Namun demikian, kata dia, pada saat itu Indonesia berhasil dengan sukses melaksanakan politik bebas aktif dan gerakan non blok.
"Itu suatu jasa yang penting untuk dicatat bagi Ali Sastroamidjojo," kata dia.
Pada masa kini, lanjut Djoko, sesungguhnya Indonesia berada di era globalisasi.
Namun persaingan hegemoni politik atau ekonomi antarnegara superpower di dunia internasional juga masih nampak mempengaruhi politik dan ekonomi Indonesia.
Persaingan antar dua negara adikuasa Amerika dan Cina, kata dia, juga membayangi politik Indonesia.
Dengan demikian, kata dia, pada hakikatnya Indonesia menghadapi masalah yang sama dalam hal ini bagaimanakah atau apakah Indonesia pada masa kini bisa sukses seperti yang dilakukan Ali pada waktu itu.
Menurutnya di sanalah yang menjadi problema bangsa Indonesia agar bisa menciptakan tokoh-tokoh pemimpin yang penuh ketauladanan seperti Ali pada waktu itu.
"Maka dapat disimpulkan bahwa Ali Sastroamidjojo pada hakikatnya telah memiliki peran dan jasa yang cukup untuk diajukan untuk bisa dipertimbangkan untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional Indonesia," katanya.